Suatu hari
beberapa pekan lalu, entah mengapa saya sempat merasa jenuh dengan koleksi
novel yang ada di folder ponsel saya. Koleksi itu didominasi novel bergenre
misteri dalam berbagai tema, misalnya petualangan, kriminal, sejarah, dan
fantasi. Bukan berarti novel-novel itu jelek, justru sangat menarik makanya
saya mengumpulkannya. Akan tetapi, entah mengapa hari itu saya dilanda
kejenuhan luar biasa sehingga ingin rasanya mencoba membaca novel bertema lain.
Saya sempat mempertimbangkan membaca novel-novel inspiratif, romance, atau
cerita anak. Namun, suara lain di kepala saya memberi peringatan,
“jangan-jangan novel yang kamu baca nanti malah membosankan, lo, kan waktumu
jadi terbuang percuma!”
Baiklah, saya
langsung berpikir, bagaimana kalau mencari novel yang kurang lebih sama-sama
menawarkan misteri, kriminalitas, petualangan, dan semacamnya yang notabene
adalah tema favorit saya, tapi berbeda atmosfer dari novel-novel yang ada di
galeri ponsel? Selama beberapa detik saya coba menggali ingatan apakah memiliki
novel-novel seperti itu dan kalau memang tidak, ke mana harus mencarinya. Sekonyong-konyong
sebuah kenangan terlintas di benak saya. Saya punya novel-novel itu dan tahu di
mana bisa mendapatkannya.
Segera saya
membuka aplikasi google drive, lalu mengakses salah satu akun yang sudah
bertahun-tahun tidak saya kunjungi. Di sanalah, saya menemukan koleksi buku
yang saya cari. Nama-nama penulis seperti Gu Long, Kho Ping Hoo, dan Jin Yong
ikut berderet rapi di daftar judul novel itu. Para Pelintas pasti sudah mahfum
cerita bergenre apa yang akan saya tuju saat itu. Ya, itulah cerita silat atau lazim
disingkat cersil.
Sudah lama saya
tidak membaca cerita-cerita semacam ini. Padahal, pertama kali mengenal
aktivitas membaca novel, kisah-kisah seperti inilah yang menemani hari-hari
saya. Itu sudah lama sekali, kalau tidak salah sekitar tahun 2009/2010. Saya
tersenyum, mengenang betapa serunya menyimak kisah serial Pendekar Pedang Kayu
Harum (Kho Ping Hoo), Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long), Serial Legenda
Pendekar Rajawali (Jin Yong), dan masih banyak lagi karya mereka yang tentu
tidak bisa saya sebutkan satu per satu di sini. Bahkan, harus diakui, belum
semua karya mereka sempat saya baca. Itulah tujuan saya kala itu: memilih salah
satu dari karya mereka yang belum sempat saya baca.
Dari sekian
banyak cersil yang sempat saya koleksi dan belum saya baca, akhirnya secara
acak terpilihlah “Pendekar Binal” karya Gu Long. Jujur, saya memang sengaja
memilih karya Gu Long untuk sebuah alasan: plot twist. Setahu saya, dibandingkan
pengarang-pengarang lain di masanya, cerita-cerita Gu Long banyak mengandung pelintiran alur (plot
twist) yang memang menjadi unsur sangat penting buat saya dalam menikmati
sebuah kisah. Saya tidak terlampau berminat dengan novel-novel yang mudah tertebak
jalan ceritanya.
Singkat cerita,
saya pun mengunduh fail itu. Saat tulisan ini dibuat, cersil itu belum selesai
saya baca. Meski begitu, saya tidak dapat menahan keinginan berbagi pengalaman
baca dengan para Pelintas.
Selain kisahnya, hal
yang juga mengasyikkan saat membaca cersil klasik semacam itu adalah penemuan
diksi-diksi lama yang mungkin kurang banyak peminatnya zaman ini. Sebut saja kata
seperti merodok, merandek, gegetun, dan kereng. Diksi itu kerap muncul dalam
cersil Mandarin yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Belum lagi
pepatah dan idiom klasik yang digunakan oleh penerjemah untuk mengekspresikan
sesuatu agar lebih jelah. Sungguh memperkaya wawasan kebahasaan dan
kesusastraan pembaca.
Umumnya, diksi
klasik dianggap usang oleh generasi masa kini. Wajar, sih, karena salah satu
sifat bahasa adalah konvensional (berdasarkan kesepakatan umum). Selain itu,
bahasa juga berkembang pesat seiring zaman. Apa yang sering digunakan oleh
kelompok mayoritas pada satu periode yang sama, maka itulah yang cenderung akan
digunakan semua orang masa itu.
Di sinilah peran
media sangat menentukan. Sebab, media adalah diseminator utama segala bentuk
informasi. Kata dan istilah yang sering muncul di media, itulah yang akan
digunakan oleh kebanyakan orang, demikian pula sebalikhnya.
Saya tidak
menyalahkan Pelintas yang enggan menggunakan diksi klasik, apalagi dalam
percakapan sehari-hari ataupun karya-karya yang menggambarkan periode modern.
Hanya, tidak ada ruginya menyayangi bahasa persatuan kita, bukan? Kalau
memungkinkan, cobalah mencantumkan satu-dua kata yang sudah jarang digunakan
saat ini dalam karya-karya kalian. Hitung-hitung itu bisa menunjukkan bahwa
pengetahuan kebahasaan Pelintas lebih unggul dari yang lain, lo! 😊
Lantas, adakah di
antara diksi klasik yang saya cantumkan tadi, yang maknanya masih buram bagi
Pelintas? Kalau kalian penasaran, silakan cek di laman KBBI online milik
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pesan saya, kalau Teman-Teman
bercita-cita menjadi penulis, rajin-rajinlah menyelisik Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Ejaan yang Disempurnakan (EYD), dan Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia (TBBBI).
Mungkin Pelintas juga ingin berbagi pengalaman, cersil apa yang paling berkesan
buat kalian? Ditunggu di kolom komentar, ya ….
Penulis:
Iin Saputri