Agama Islam datang untuk membersihkan manusia luar dan dalam. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Terj. Al Baqarah: 222)
Dengan tobat, batin seseorang menjadi bersih dan dengan bersuci, bagian luar manusia menjadi bersih. Bersuci di sini, mencakup bersuci dari khabats (kotoran) dan bersuci dari hadats. Bersuci dari kotoran yaitu dengan menghilangkan najis yang menimpa pakaian, badan, maupun tempat shalat, sedangkan bersuci dari hadats, yaitu dengan wudhu’, mandi, dan tayammum.
Dalam risalah ini insya Allah akan dibahas tentang najis dan cara membersihkannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat. Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) najis
Najis adalah kotoran yang wajib dijauhi oleh seorang muslim dan wajib dicuci bagian yang terkena olehnya[i]. Hukum asal sesuatu adalah suci dan mubah, tidak dibenarkan mengatakan sesuatu itu najis tanpa dalil.
Macam-macam najis
1. Bangkai
Bangkai adalah binatang yang mati tanpa melalui proses penyembelihan. Dalil tentang najisnya bangkai adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اِذَا دُبِغَ اْلِإهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Apabila kulit (bangkai) disamak, maka ia menjadi suci.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Termasuk ke dalam bangkai adalah anggota badan binatang hidup yang dipotong sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain.
Namun tidak termasuk ke dalam najis apa yang disebutkan di bawah ini:
– Bangkai ikan dan belalang, keduanya adalah suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ : أَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad dan Baihaqi, Shahihul Jami’ 210)
– Bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya, seperti lalat, semut dan lebah. Oleh karena itu, jika binatang-binatang ini jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah membuatnya najis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَقَعَ اَلذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ, ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ, فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً, وَفِي اَلْآخَرِ شِفَاءً
“Apabila lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kamu maka tenggelamkanlah, kemudian tariklah karena pada salah satu sayapnya ada penyakit, sedangkan pada sayap yang lain ada obatnya.” (HR. Bukhari)
– Tulang bangkai, tanduknya, kukunya, rambutnya, giginya, bulunya, dsb.
Hal itu, karena hukum asalnya adalah suci.
Dalil tentang najisnya darah haidh adalah hadits Asma’ binti Abi Bakar radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Ada seorang wanita yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Pakaian salah seorang di antara kami terkena darah haidh, apa yang harus dilakukannya?” Beliau menjawab:
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرِصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ
“Ia mengeriknya lalu menggosoknya dengan air, kemudian menyiramnya dan (boleh) mengenakan shalat dengannya.” (Muttafaq ‘alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim)
3. Daging babi
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah, “Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor.” (Terj. QS. Al An’aam: 145)
Najisnya babi sama seperti najisnya yang lain, sehingga menyucikannya cukup mencucinya sekali.
4. Kencing dan kotoran manusia
Najisnya kencing dan kotoran manusia adalah perkara yang sudah maklum. Hanya saja diberikan keringanan pada kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan. Oleh karena itu, cara membersihkannya cukup dengan dipercikkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَوْلُ اْلغُلاَمِ يُنْضَحُ عَلَيْهِ ، وَبَوْلُ اْلجَارِيَةِ يُغْسَلُ
“Kencing bayi laki-laki dipercikkan, sedangkan kencing bayi perempuan dicuci.”
Qatadah berkata, “Hal ini jika keduanya masih belum memakan makanan. Jika sudah, maka kencing keduanya harus dicuci.”
(HR. Ahmad –ini adalah lafaznya-, juga diriwayatkan oleh pemilik kitab Sunan selain Nasa’i, Al Haafizh dalam Al Fat-h berkata: “Isnadnya shahih”)
5. Madzy dan Wady
Madzy adalah air yang keluar dari kemaluan berwarna putih dan lengket, biasanya keluar ketika syahwat tinggi, namun tidak disudahi dengan lemas setelah keluarnya, berbeda dengan mani. Sedangkan wady adalah air yang keluar dari kemaluan berwarna putih dan tebal, biasanya keluar setelah kencing. Madzy dan wady adalah najis.
Dalil tentang najisnya madzy adalah hadits Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ » .
“Aku adalah seorang laki-laki yang banyak keluar madzy, aku malu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena puterinya, maka aku menyuruh Miqdad bin Aswad untuk bertanya kepada Beliau, sabdanya, “Hendaknya ia cuci kemaluannya dan berwudhu’.” (Muttafaq ‘alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim)
Jika madzi mengenai badan, maka wajib dicuci dan jika mengenai pakaian maka cukup dengan dipercikkan (rasysy) dengan air. Dalil cukupnya memercikkan pakaian yang terkena madzy adalah hadits Sahl bin Hunaif, ia berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika madzi mengenai kainku?” Beliau menjawab, “Cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, lalu kamu percikkan ke kainmu sampai kamu melihat air tersebut telah mengenainya.” (Hasan, HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Sedangkan dalil tentang najisnya wady adalah kata-kata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang wady dan madzy:
اِغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيْرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ فِي الصَّلاَةِ
“Basuhlah dzakarmu atau kemaluanmu dan berwudhu’lah seperti wudhu’mu untuk shalat.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Tentang mani
Adapun mani, di antara ulama ada yang berpendapat bahwa ia adalah najis, namun yang rajih bahwa mani itu suci, akan tetapi dianjurkan mencucinya jika basah dan mengeriknya jika kering. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sudah kering dan mencucinya jika masih masah.” (HR. Daruquthni, Abu ‘Uwanah dan Al Bazzar)
6. Kencing dan kotoran binatang yang tidak dimakan dagingnya
Contoh hewan yang tidak dimakan dagingnya adalah kucing dan tikus. Dalil tentang najisnya kencing dan kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya adalah hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke tempat buang hajat, lalu menyuruhku untuk membawakan tiga buah batu. Aku mendapatkan dua buah batu dan mencari yang ketiganya, namun tidak menemukan, aku pun mengambil kotoran hewan dan membawanya, maka Beliau mengambil kedua batu itu dan membuang kotoran hewan, Beliau bersabda, “Ini adalah najis.” (HR. Bukhari, dalam sebuah riwayat disebutkan: “Ia adalah najis, ia adalah kotoran keledai.”)
Namun dimaafkan jika hanya sedikit karena agak sulit menghindarkan diri darinya. Al Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Al Auza’iy, “Lalu bagaimana dengan kencing binatang yang tidak dimakan dagingnya seperti bighal, keledai dan kuda?” Ia menjawab: “Dahulu orang-orang terkena hal itu dalam perang mereka, namun mereka tidak mencuci badan atau pakaian mereka.”
Adapun kencing dan kotoran binatang yang dimakan dagingnya, maka menurut Imam Malik, Ahmad dan jama’ah para ulama madzhab Syafi’i bahwa hal itu adalah suci. Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada salah seorang sahabat yang mengatakan najisnya.”
7. BInatang Jallaalah (pemakan kotoran)
Telah ada larangan menunggangi binatang jallalah, memakan dagingnya dan meminum susunya. Ini semua menunjukkan najisnya. Ibnu Abbas berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meminum susu binatang Jallalah.” (HR. Lima orang selain Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Tirmidzi)
Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya sbb:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan daging keledai negeri dan melarang jallalah, yaitu melarang untuk ditunggangi dan dimakan dagingnya.” (HR. Ahmad, Nasa’i dan Abu Dawud)
Jallalah adalah binatang yang memakan kotoran, baik unta, sapi, kambing, ayam, itik dsb. sehingga tercium bau. Jika binatang tersebut dijauhkan dari kotoran beberapa lama dan diberi makanan yang suci sehingga dagingnya menjadi enak dan tidak disebut lagi sebagai jallalah (pemakan kotoran), maka binatang tersebut menjadi halal, karena sebab dilarangnya sudah hilang.
8. Anjing
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ, أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya bejana (wadah) salah seorang di antara kamu apabila dijilati anjing adalah dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan yang pertama (dicampur) dengan tanah.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi)[iii]
Jika anjing menjilat suatu wadah yang di dalamnya terdapat makanan yang beku (jamid), maka dibuang bagian yang dikenainya serta bagian sekitarnya, selebihnya bisa dimanfaatkan karena masih suci. Adapun jika di dalam wadah tersebut berisi air, maka air tersebut harus dibuang.
Diqiaskan dengan mulutnya adalah seluruh badannya (yakni seluruh badannya juga najis), pendapat yang mengatakan najisnya ‘ain (badan) anjing adalah pendapat jumhur ulama.
Menyucikan badan dan pakaian
Pakaian dan badan jika terkena najis wajib dicuci dengan air sampai hilang najisnya. Hal ini jika najis tersebut dapat dilihat seperti darah haidh, namun jika masih tetap ada bekasnya dan sulit dihilangkan setelah dicuci, maka bekasnya itu dimaafkan. Dan jika najisnya tidak terlihat seperti air kencing, maka cukup dicuci meskipun hanya sekali.
Jika najis menimpa bagian bawah pakaian wanita, maka bisa disucikan oleh tanah.
Menyucikan tanah
Tanah bisa menjadi suci jika terkena najis dengan dituangkan air ke atasnya sekali, bisa juga dengan membiarkannya hingga kering. Aisyah pernah mengatakan, “Sucinya tanah adalah dengan keringnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah).
Hal ini apabila najisnya cair, adapun jika najisnya bukan cair (benda padat) maka tidak bisa disucikan kecuali dengan menghilangkan ‘ainnya (benda padat tersebut) atau dengan memindahkannya.
Menyucikan samin dan semisalnya (seperti mentega, dsb)
Dari Ibnu Abbas dari Maimunah: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang tikus yang jatuh ke dalam samin, Beliau bersabda: “Buanglah tikus tersebut, dan buanglah bagian sekitarnya, kemudian makanlah samin kalian (sisanya).” (HR. Bukhari)
Al Haafizh berkata: Ibnu ‘Abdil Bar menukilkan tentang sepakatnya ulama, bahwa barang yang beku apabila kejatuhan bangkai, maka dibuang bangkainya dan bagian sekitarnya, jika memang bagian bangkai tersebut tidak mengenai lebih dari itu. Adapun jika benda cair, maka para ulama berselisih, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa benda cair tersebut menjadi najis semuanya karena terkena najis, namun Az Zuhriy dan Al Auzaa’iy menyelisihinya.”
Menyucikan kulit bangkai
Kulit bangkai bisa menjadi suci baik luar dan dalamnya dengan disamak (sudah disebutkan dalilnya).
Semua kulit bangkai binatang apa saja bisa disamak selain babi, karena babi tidak memiliki kulit –ini adalah madzhab Abu Hanifah-.
Dalam Syarh Muslim disebutkan, “Menyamak itu boleh menggunakan sesuatu yang bisa mengeringkan sisa yang menempel di kulit bangkai, membuat wangi dan bisa menghalanginya dari kerusakan seperti dengan syats (sejenis tumbuhan yang wangi dan pahit rasanya), qarazh (daun salam), kulit delima dan lainnya (seperti sabun), tidak bisa hanya dengan dijemur –kecuali menurut ulama madzhab Hanafi-, tidak juga dengan tanah, debu dan garam menurut pendapat yang lebih shahih.”
Menyucikan cermin dan sebagainya
Menyucikan cermin, pisau, pedang, kuku, tulang, kaca, bejana dan semua benda berkilap yang tidak berlubang cukup dengan diusap dengan usapan yang menghilangkan bekas najis.
Menyucikan sandal
Menyucikan sandal atau khuff (sepatu yang menutupi dua kaki) yang terkena najis cukup dengan digosok-gosok ke tanah hingga hilang bekas najisnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَطِىءَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ اْلأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُوْرٌ
“Apabila sandal salah seorang di antara kamu menginjak kotoran, maka tanah adalah pensucinya.” (shahih lighairih, HR. Abu Dawud)
Faedah:
Apabila seseorang sudah selesai shalat, lalu dilihat pakaian atau badannya ada najis yang tidak diketahui sebelumnya, atau ia mengetahuinya tetapi lupa, atau ia ingat tetapi kesulitan menghilangkannya, maka shalatnya sah, tidak perlu diulangi. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya.” (Terj. QS. Al Ahzaab: 5)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Wajiz (Abdul ’Azhim bin Badawi), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jaza’iriy), Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh), dll.
[i]Menurut penyusun kitab Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh KSA), bahwa najis terbagi dua:
Pertama, najis ‘aini atau hakiki (konkrit), yaitu najis yang tidak akan menjadi suci dalam keadaan bagaimana pun, seperti kotoran keledai, darah (haidh), dan air kencing.
Kedua, najis hukmi, yakni najis maknawi (abstrak) yang mengenai anggota badan dan menghalangi keabsahan shalat. Najis ini mencakup hadats kecil yang dapat dihilangkan dengan wudhu seperti buang air besar, maupun hadats besar yang dapat dihilangkan dengan mandi seperti junub.
Pada dasarnya, benda yang digunakan untuk membersihkan adalah air sebagaimana diterangkan dalam surat Al Anfaal: 11.
Dan najis ini jika dilihat dari sisi ringan dan beratnya menjadi tiga bagian:
Pertama, najis mughallazhah (berat), seperti najis yang diakibatkan oleh air liur anjing.
Kedua, najis mukhaffafah (ringan), seperti najis air kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan.
Ketiga, najis mutawassithah (pertengahan), yaitu najis-najis lainnya, seperti air kencing, kotoran manusia, dan bangkai.
[ii]Menurut penyusun kitab Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh KSA), bahwa termasuk najis adalah darah yang mengalir dari hewan yang dapat dimakan, dalilnya (أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا) artinya “atau darah yang mengalir” (QS. Al An’aam: 145), adapun darah yang masih menempel di daging dan urat, maka itu suci, wallahu a’lam.
[iii]Menurut penyusun kitab Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh KSA), bahwa hukum ini berlaku baik pada wadah maupun lainnya seperti pakaian dan permadani, namun di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa perintah membasuh sebanyak tujuh kali ini hanyalah apabila anjing menjilat wadah yang berisi air. Selain itu, maka cara penyuciannya adalah dengan menghilangkan najis itu tidak harus tujuh kali. Karena cara penyucian yang tidak disebutkan tatacaranya oleh syariat, maka intinya menghilangkan najis itu; baik warna maupun baunya, wallahu a’lam.