Meluruskan Aqidah dan Manhaj (9)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫العقيدة الصحيحة‬‎
Meluruskan Aqidah dan Manhaj (9)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang kekeliruan dalam Aqidah dan manhaj, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
19. Mudah mengkafirkan kaum muslimin
Takfir atau mengkafirkan adalah masalah yang membutuhkan kehati-hatian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ *
“Barang siapa yang mengaku sesuatu sebagai miliknya, padahal bukan miliknya, maka ia tidak termasuk golongan kami, dan hendaknya ia ambil tempat duduknya di neraka. Barang siapa yang memanggil seseorang “Kafir” atau “Musuh Allah,” padahal orang itu tidak demikian keadaannya, maka akan kembali kepadanya (yang memanggilnya). (HR. Muslim)
Oleh karena itu, memvonis kafir kepada seorang muslim secara ta’yin (menyebutkan orangnya) harus ada dalil tentang kafirnyaberdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah yang jelas, dan tidak cukup hanya sebatas perkiraan dan syubhat.
Seseorang muslim yang melakukan kekufuran menjadi murtad setelah tegak hujjah atau terpenuhi syarat dan hilangnya mawaani’ (penghalang). Syarat-syaratnya adalah jika ia lakukan dengan kerelaan/atas pilihannya (yakni tidak dipaksa, lihat QS. An Nahl : 106), sadar, baligh dan berakal. Sedangkan mawaani’ (penghalangnya) adalah jahl (ketidaktahuan haramnya), khatha’ (keliru, tidak disengaja), ikraah (dipaksa), dan salah ta’wil.
Demikian juga tidak mesti setiap kata-kata kufur dalam nash menunjukkan keluar dari Islam, karena kufur ada dua:
Pertama, Kufur Akbar, yaitu kekufuran yang dapat menafikan tauhid atau mengeluarkan dari Islam, karena pelakunya menolak Islam; tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bentuk penolakannya bisa berupa juhuud & takdzib (mengingkari dan mendustakan), ibaa’ & istikbar (enggan dan sombong), syak (ragu-ragu), i’radh (berpaling), istihzaa’ (melecehkan), istihlaal (menganggap halal yang jelas-jelas haram) dan nifaq (menyembunyikan kekafiran di batin).
Kedua, Kufur Ashghar, yaitu kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam, seperti membunuh seorang muslim, kufur nikmat, dsb. sebagaimana syirk pun ada dua; syirk akbar dan syirk ashghar.
20. Melakukan tour ziarah kubur.
Sering kita saksikan, ketika menjelang bulan Ramadhan atau pada hari raya sebagian masyarakat melakukan perjalanan khusus ke makam wali ini dan itu. Hal ini jelas keliru, padahal dalam Islam ziarah kubur tidak dibatasi dengan makam ini dan itu, bahkan makam mana saja, dan kapan saja kita disyariatkan ziarah kubur. Karena tujuan ziarah kubur tidak lain hanyalah agar kita ingat kepada kematian dan akhirat, mendoakan serta memintakan ampun kepada Allah untuk penghuni kubur seperti dalam ucapan salam kepada para penghuni kubur.
Lebih keliru lagi apabila ditambah dengan adanya keyakinan bahwa makam wali ini dan itu ada keutamaan atau keberkahan, padahal Islam tidak menjelaskan demikian. Apalagi sampai berdoa kepada mereka, maka hal ini adalah kesalahan.yang sangat fatal, bahkan termasuk syirik dan dosa yang sangat besar.
21. Adanya anggapan bahwa yang halal itu sedikit, kebanyakan yang haram, sehingga tidak bisa disalahkan seseorang yang mencari rezeki dengan cara yang haram.
Terkadang kita mendengar sebagian orang awam berkata, “Yang haram saja susah, apalagi yang halal.” Kata-kata ini biasanya muncul dari orang yang berpandangan pendek, berpikir kurang, malas, dan ingin yang instant sehingga melewati jalan pintas.
Tidakkah mereka mengetahui bahwa antara yang haram dengan yang halal, lebih banyak yang halal. Yang haram dapat dihitung dengan jari, namun yang halal sulit dihitung. Tidak perlu jauh-jauh contohnya, dalam hal makanan dan minuman, yang diharamkan Allah hanya sedikit, sedangkan yang dihalalkan banyak sekali.
22. Keliru dalam masalah tawassul (memakai perantara dalam berdoa).
Sebagian orang ada yang bertawassul dalam berdoa menggunakan orang-orang yang sudah meninggal agar mereka (orang-orang yang sudah meninggal) mendoakan mereka yang masih hidup, ada pula yang bertawassul menggunakan jaah (kedudukan) seseorang atau dengan jaah Nabi Muhamad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada pula yang bertawassul dengan menggunakan diri seseorang atau dengan hak seseorang. Ini semua tidak dibenarkan dan menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah. Tawassul yang benar berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah adalah dengan menggunakan:
üNama-nama Allah dan sifat-Nya (lihat QS. Al A’raaf: 180), misalnya mengatakan “Ya Allah, Engkau adalah Ar Razzaq (Maha Pemberi rizki), maka karuniakanlah rezeki kepadaku.
üDengan iman yang kita miliki dan amal saleh yang kita kerjakan, misalnya mengatakan, “Ya Rabb Kami, sesungguhnya Kami mendengar (seruan) orang yang menyeru kepada iman, (yaitu), “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,” maka Kamipun beriman. Ya Tuhan Kami, ampunilah bagi Kami dosa-dosa Kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, serta wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.” (lihat QS. Ali Imran: 193)
      Contoh lainnya adalah seperti dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim tentang tiga orang yang bermalam di gua, tiba-tiba batu besar jatuh menutupi gua tersebut, masing-masing dari mereka pun kemudian berdoa dengan menyebutkan amal saleh yang mereka kerjakan, sambil berkata,
اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ
     “Ya Allah, jika perbuatan yang kulakukan itu karena mengharapkan Wajah-Mu (keridhaan-Mu), maka singkirkanlah dari kami (batu besar) yang menutupi kami.”
      Akhirnya mereka semua bisa keluar dari gua tersebut.
ü Dengan tauhid yang kita miliki. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika ditelan ikan besar, ia mengatakan, “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau–Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.”
Maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyelamatkannya (lihat QS. Al Anbiya’: 87-88).
üDengan menampakkan kelemahan, rasa butuh, dan rasa fakir kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi Ayyub ‘alaihis salam (lihat QS. Al Anbiya’: 83) dan yang dilakukan Nabi Zakariyya (lihat QS. Maryam: 4-6), maka Allah mengabulkan permohonan keduanya.
üDengan mengakui dosanya, sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa ‘alaihis salam (lihat QS. Al Qashash: 16), maka Allah pun mengampuninya.
üDengan doa orang saleh yang masih hidup, sebagaimana yang dilakukan para sahabat, mereka meminta Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah agar Allah menurunkan hujan kepada mereka. Atau misalnya berkata kepada seorang ustadz yang saleh, “Ustadz, doakan saya agar Allah menyelamatkan saya di perjalanan.”
Ingat, bahwa tawassul dengan doa orang saleh dengan syarat jika orang tersebut “masih hidup” dan “ada di hadapan kita“. Adapun jika sudah meninggal, maka tidak boleh, karena setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para sahabat tidak mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan mereka mendatangi paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Abbas bin Abdul Muththalib agar ia berdoa kepada Allah, agar Allah menurunkan hujan (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari).
23. Bergantung kepada sebab dengan anggapan bahwa tanpa sebab sesuatu yang kita inginkan tidak mungkin dapat tercapai.
Yang harus diyakini seorang muslim adalah bahwa sebab bukanlah sebagai penentu, yang menentukan adalah Allah. Meskipun kita diperintahkan menjalani sebab jika ingin menggapai sesuatu.
Kita beriman kepada sunnatullah (ketetapan Allah) di alam semesta ini. Oleh karena itu, kita mengerjakan sebab-sebabnya untuk memperoleh sesuatu dan berusaha semaksimal mungkin mendatangkan sebabnya, namun kita sama sekali tidak meyakini bahwa sebablah yang mendatangkan apa yang kita harapkan. Bahkan kita harus memandang bahwa mengerjakan sebab adalah sebuah perintah Allah sebagaimana perintah-perintah-Nya yang lain, adapun tercapai atau tidaknya kita berharap kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya agar apa yang kita inginkan dapat tercapai, karena betapa banyak orang yang menjalankan sebab, namun tidak dapat memetik hasilnya; yakni apa yang diharapkannya tidak tercapai.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa