بسم الله الرحمن الرحيم
Meluruskan Aqidah dan Manhaj (4)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang kekeliruan dalam Aqidah dan manhaj, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
11. Keliru dalam memahami hijrah
Hijrah secara syara’ artinya meninggalkan sesuatu yang dibenci Allah menunju hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya. Termasuk ke dalam hal ini adalah berhijrah dari tempat yang ghalib (umumnya) syirik atau syi’ar-syi’ar kekufuran merajalela di sana menuju negeri Islam (negeri dimana syi’ar Islam tampak seperti azan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan shalat hari raya).
Sebagian orang, di saat melihat kondisi masyarakat jauh dari ajaran Islam, ia pun berhijrah dan berpindah-pindah. Sebenarnya menghadapi kondisi seperti ini adalah dengan mendakwahkan mereka jika ia memiliki ilmu atau memanggil seorang ‘alim untuk berdakwah di tempatnya, namun jika ia tidak memiliki ilmu dan mengkhawatirkan dirinya terfitnah oleh kondisi seperti itu, tidak mengapa ia berpindah jika mampu berhijrah.
Imam Nawawi setelah membuat bab tentang keutamaan ‘uzlah (mengasingkan diri) di saat masyarakat telah rusak dan ia khawatir terfitnah (terbawa), membuat bab lagi di kitabnya Riyadhus Shalihin tentang keutamaan bergaul dengan orang lain dengan sikap sabar dan tetap menjaga amr ma’ruf-nahi mungkar,
بَابٌ فَضْلُ الْاِخْتِلاَطِ بِالنَّاسِ وَحُضُوْرِ جُمَعِهِمْ وَجَمَاعَاتِهِمْ وَمَشَاهِدِ الْخَيْرِ وَمَجَالِسِ الذِّكْرِ مَعَهُمْ وَعِيَادَةِ مَرِيْضِهِمْ وَحُضُوْرِ جَنَائِزِهِمْ وَمُوَاسَاةِ مُحْتَاجِهِمْ وَإِرْشَادِ جَاهِلِهِمْ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ مَصَالِحِهِمْ لِمَنْ قَدَرَ عَلَى الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ وَقَمَعَ نَفْسَهُ عَنِ الْإِيْذاَءِ وَصَبَرَ عَلَى الْأَذَى.
اِعْلَمْ أَنَّ الْاِخْتِلاَطَ بِالنَّاسِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ ذَكَرْتُهُ هُوَ الْمُخْتَارُ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَائِرُ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ ، وَكَذَلِكَ الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُوْنَ ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِِ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَخْيَارِهِمْ ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَكْثَرِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ ، وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ ، وأَكْثَرُ الفُقَهَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ . قَالَ تَعَالَى : { وتَعاونُوا عَلى البِرِ والتَّقْوَِى } [ المائدة : 2 ] وَالْآيَاتُ فِي مَعْنَى مَا ذَكَرْتُهُ كَثِيْرَةٌ مَعْلُوْمَةٌ .
Bab tentang keutamaan bergaul dengan orang lain, ikut menghadiri shalat Jum’at dan jamaah serta musim-musim kebaikan, keutamaan menghadiri majlis ilmu bersama mereka, menjenguk orang yang sakit, menghadiri jenazahnya, membantu orang yang butuh, membimbing orang yang tidak mengerti, dan sebagainya bagi orang yang sekiranya mampu beramar ma’ruf dan bernahi munkar, mampu menahan dirinya dari mengganggu orang lain, dan mampu bersabar terhadap gangguan.
Beliau juga berkata, “Ketahuilah, bahwa bergaul dengan manusia seperti yang saya sebutkan inilah yang terpilih, dan ini pula yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para nabi shalawatullah wa salaamuhu ‘alaihim, juga para khulafaur raasyidin, serta orang-orang setelah mereka dari kalangan para sahabat, tabi’in, ulama kaum muslimin setelah mereka dan orang-orang pilihan. Ini pula madzhab kebanyakan tabi’in dan orang-orang setelah mereka, dan ini pula yang dipegang oleh Imam Syafi’i, Ahmad serta kebanyakan para fuqaha’ (Ahli Fiqih) radhiyallahu ‘anhum ajma’iin. Allah Ta’ala berfirman,
“Tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan.” (QS. Al Maa’idah: 2)
Ayat lain yang semakna dengan maksud yang saya sebutkan banyak dan sudah maklum.”
Ada juga yang melakukan hijrah karena menyangka bahwa negerinya adalah negeri kafir!
Perlu diketahui bahwa negeri kafir adalah negeri dimana kemusyrikanatau syi’ar kekufuran tampak di mana-mana, dan tidak dapat ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam yang sifatnya menyeluruh seperti azan, shalat berjamaah, hari raya dan shalat Jum’at (misalnya karena dilarang). Jika keadaan negeri kita seperti ini, maka kita diwajibkan berhijrah ke negeri Islam agar dapat menjalankan ajaran Islam ketika kita mampuberhijrah (lihat QS. An Nisaa’: 97).
Jika kita tidak mampu, maka hal ini dimaafkan Allah, karena Allah tidak membebani kecuali sesuai kemampuannya (lihat QS. An Nisaa’: 98).
Kita juga diperbolehkan tinggal di negeri kafir; jika bertujuan untuk dakwah. Namun jika tidak ada tujuan ini, maka ia wajib berhijrah.
12. Keliru dalam masalah bai’at.
Kita sering mendengar jamaah-jamaah kecil mengadakan bai’at kepada imam yang mereka tunjuk, masing-masing jamaah memiliki imam, sehingga terjadi banyak bai’at, apakah yang demikian dibenarkan?
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata, “Bai’at hanya boleh diberikan kepada penguasa (pemerintah) kaum muslimin. Bai’at-bai’at yang berbilang-bilang dan bid’ah itu merupakan akibat perpecahan. Setiap kaum muslimin yang berada dalam satu pemerintahan dan satu kekuasaan wajib memberikan satu bai’at kepada satu orang pemimpin. Tidak dibenarkan memunculkan bai’at-bai’at yang lain. Bai’at-bai’at tersebut merupakan hasil perpecahan kaum muslimin pada zaman ini dan akibat kejahilan terhadap agama.”
13. Keliru dalam hal menaati pemerintah
Contohnya adalah mengira bahwa pemerintah yang harus dita’ati adalah pemerintah yang adil. Bahkan sebenarnya, pemerintah yang zalim juga harus dita’ati dalam hal yang ma’ruf (bukan maksiat). Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ (مسلم)
“Ingatlah, barang siapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin, lalu ia melihat pemimpinnya melakukan sebuah kemaksiatan kepada Allah. Maka bencilah maksiat yang dilakukannya, namun jangan keluar dari ketaatan kepadanya (memberontak).” (HR. Muslim)
Imam Ahmad[i]berkata tentang sikap Ahlus Sunnah terhadap pemerintah dalam kitabnya Ushulus Sunnah,
والسمع والطاعة للأمة وأمير المؤمنين البر والفاجـر ومن ولي الخلافة، واجتمع الناس عليه ورضوا به، ومن عليهم بالسيف حتى صار خليفة وسمي أمير المؤمنين.
والغزو ماض مع الأمراء إلى يوم القيامة البر والفاجر لا يترك.
وقسمة الفيء، وإقامة الحدود إلى الأئمة ماض، ليس لأحد أن يطعن عليهم، ولا يازعهم.
والغزو ماض مع الأمراء إلى يوم القيامة البر والفاجر لا يترك.
وقسمة الفيء، وإقامة الحدود إلى الأئمة ماض، ليس لأحد أن يطعن عليهم، ولا يازعهم.
ودفع الصدقات إليهم جائزة نافذة. من دفعها إليهم أجزأت عنه برا كان أو فاجرا.
وصلاة الجمعة خلفه، وخلف من ولاه جائزة باقية تامة ركعتين، من أعادهما فهو مبتدع، تارك للآثار، مخالف للسنة، ليس له من فضل الجمعة شيء؛ إذا لم ير الصلاة خلف الأئمة برهم وفاجرهم فالسنة بأن يصلي معهم ركعتين ويدين بأنها تامت. لايكن في صدرك من ذلك شك.
وصلاة الجمعة خلفه، وخلف من ولاه جائزة باقية تامة ركعتين، من أعادهما فهو مبتدع، تارك للآثار، مخالف للسنة، ليس له من فضل الجمعة شيء؛ إذا لم ير الصلاة خلف الأئمة برهم وفاجرهم فالسنة بأن يصلي معهم ركعتين ويدين بأنها تامت. لايكن في صدرك من ذلك شك.
ومن خرج على إمام من أمة المسلمين وقد كان الناس اجتمعوا عليه وأقروا له بالخلاقة بأي وجه كان بالرضا أو بالغلبة فقد شق هذا الخارج عصا المسلمين، وخالف الآثار عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فإن مات الخارج عليه مات ميتة جاهلية.
ولا يحل قتال السلطان ولا الخروج غليه لأجد من الناس. فمن فعل ذلك فهو مبتدع على غير السنة والطريق
ولا يحل قتال السلطان ولا الخروج غليه لأجد من الناس. فمن فعل ذلك فهو مبتدع على غير السنة والطريق
“(Sikap kita) adalah mendengar dan taat kepada umat dan amirul mukminin yang baik maupun yang buruk serta orang yang memegang kepemimpinan, dimana orang-orang mau berkumpul di bawahnya serta ridha terhadapnya. Demikian juga kepada orang yang mengalahkan khalifah yang sebelumnya dengan pedang sehingga ia pun menjadi khalifah dan disebut Amirul mukminin.
Berperang tetap berlaku bersama pemerintah hingga hari kiamat, baik pemerintah yang baik maupun yang buruk, dan tetap tidak ditinggalkan.
Pembagian fai’ (harta rampasan tanpa melalui peperangan) dan penegakan hudud juga diserahkan kepada para penguasa, tidak seorang pun berhak mencacati mereka dan menentang mereka.
Menyerahkan zakat kepada mereka juga boleh dan berlaku. Barang siapa yang telah menyerahkan kepada mereka, maka sudah dianggap sah, baik pemerintahnya orang yang baik atau jahat.
Shalat Jum’at di belakangnya dan di belakang orang yang diangkatnya adalah boleh, tetap berlaku, sempurna dan dua rakaat. Barang siapa yang mengulanginya, maka dia ahlul bid’ah, meninggalkan atsar dan menyalahi sunnah, dan tidak memperoleh sedikit pun keutamaan shalat Jum’at, karena ia menganggap tidak boleh shalat di belakang penguasa yang baik maupun yang jahat. Bahkan Sunnah menjelaskan tetap shalat bersama mereka dua rakaat dan meyakini bahwa ia sempurna, jangan ada keraguan dalam dadamu tentang hal itu.
Barang siapa yang keluar dari ketaatan kepada imam dari kalangan kaum muslimin, padahal orang-orang telah berkumpul di bawahnya, mengakui kekhalifahannya dengan cara bagaimana pun; baik dengan cara yang diridhai maupun dengan cara mengalahkan, maka sesungguhnya ia telah memecahkan tongkat kaum muslimin, menyalahi atsar (hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ia meninggal di atas sikap seperti ini, maka ia meninggal dengan cara jahiliyyah.
Tidak halal memerangi penguasa dan memberontak kepadanya karena seorang pun di antara manusia. Barang siapa yang melakukannya, maka dia adalah pelaku bid’ah, tidak di atas sunnah dan jalan (yang lurus).”
Al Hasan berkata:
هُمْ يَلُوْنَ مِنْ أُمُوْرِنَا خَمْسًا الْجُمْعَةَ وَالْجَمَاعَةَ وَاْلعِيْدَ وَالثُّغُوْرَ وَالْحُدُوْدَ وَاللهِ مَا يَسْتَقِيْمُ الدِّيْنُ إِلاَّ بِهِمْ وَإِنْ جَارُوْا أَوْ ظَلَمُوْا وَاللهِ لَمَا يُصْلِحُ اللهُ بِهِمْ أَكْثَرُ مِمَّا يُفْسِدُوْنَ
“Mereka (pemerintah) memimpin lima masalah kita; shalat Jum’at, shalat jamaah, shalat ‘Ied, masalah perbatasan, dan penegakkan hudud. Demi Allah, agama tidak bisa tegak tanpa mereka, meskipun mereka aniaya atau zhalim. Demi Allah, yang diperbaiki Alllah lewat mereka masih lebih banyak daripada yang dirusak.”
Catatan:
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa pemerintahan itu jika tidak ditegakkan dengan jalan Ahlul halli wal ‘Aqd (panitia syuuraa), tidak perlu dianggap. Sehingga ia beranggapan bahwa tidak layak menaati pemerintah dan tidak pantas mengakui pemerintahan mereka.
Kita katakan: Pemerintah Islam (imam/sulthan) adalah pemerintah dimana kaum muslimin mau bersatu di bawahnya. Baik dengan cara Ahlul Halli wal ‘Aqd[ii], ditunjuk oleh khalifah sebelumnya[iii], kesepakatan kaum muslimin maupun dengan cara ghalabah (khalifah tersebut digulingkan oleh yang lain, kemudian diganti oleh khalifah baru)[iv].
Haram hukumnya memberontak kecuali jika memenuhi dua syarat :
1. Pemimpin tersebut jelas-jelas melakukan kekufuran dan ada dalil tentang kekafirannya. Tentunya yang melakukan ini adalah ulama (lihat QS. An Nisaa’ : 83).
2. Tidak menimbulkan madharrat yang lebih besar.
Hal ini berdasarkan hadits Ubadah bin Ash Shaamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
« Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam berdakwah kepada kami, maka kami pun membai’atnya. Lalu di antara perjanjian yang diambil Beliau dari kami adalah agar kami tetap mendengar dan taat baik dalam keadaan senang maupun tidak, sulit maupun lapang serta harus mengedepankanya di atas urusan kami. Demikian juga agar kami tidak menggulingkan kekuasaan seseorang kecuali jika melihat kekufuran yang nyata dan mempunyai dalil dari sisi Allah tentangnya.” (HR. Bukhari)
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
[i] Beliau adalah seorang imam Ahlus Sunnah, penyusun kitab Al Musnad. Seorang ahli hadits dan fiqh. Apa yang Beliau katakan dalam kitabnya Ushulus Sunnah merupakan ka’idah-ka’idah penting dalam Islam, yang diramunya dari hadits-hadits yang banyak yang diketahuinya, kemudian disimpulkannya. Oleh karena itu, kami tidak menyebutkan dalil terhadap perrkataan Imam Ahmad di atas, karena apa yang ia katakan merupakan kesimpulan dari hadits-hadits yang banyak.
[ii] Sebagaimana pengangkatan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah.
[iii] Sebagaimana pengangkatan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang ditunjuk oleh Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
[iv] Sebagaimana yang terjadi pada khalifah Abdul Malik bin Marwan, ketika ia membunuh Ibnuz Zubair, maka berakhirlah kekhalifahan Ibnuz Zubair.