بسم الله الرحمن الرحيم
Meluruskan Aqidah dan Manhaj (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:
Risalah ini kami tulis sebagai bentuk “Tas-hiihan lil mafaahiimil khaathi’ah” (meluruskan pemahaman-pemahaman yang keliru) sebagai bentuk nasihat kepada saudara kami kaum muslimin yang memang diperintahkan.
Risalah ini ditulis bukanlah untuk memojokkan apalagi mencela, akan tetapi ditulis karena cinta kepada saudara kami kaum muslimin yang menghendaki kami meluruskan ketergelinciran mereka, agar kami dan mereka sama-sama berada di atas kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sampai ia mencintai kebaikan didapatkan saudaranya, sebagaimana ia mencintai kebaikan didapatkan dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Risalah ini, kami sudah berusaha agar jauh dari ketergelinciran. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab rahimahullah,
وَيَأْبَى اللَّهُ الْعِصْمَةَ لِكِتَابٍ غَيْرِ كِتَابِهِ ، وَالْمُنْصِفُ مَنْ اغْتَفَرَ قَلِيلَ خَطَأِ الْمَرْءِ فِي كَثِيرِ صَوَابِهِ
“Dan Allah tidak menghendaki kemaksuman (terjaga dari ketergelinciran) pada selain kitab-Nya, namun orang yang inshaf/adil adalah orang yang memaafkan kekeliruan sedikit pada seseorang di tengah-tengah banyak benarnya.”
Oleh karena itu,
رَحِمَ اللهُ مَنْ اَهْدَى اِلَيَّ عُيُوْبِي
“Semoga Allah merahmati orang yang menghadiahkan kepadaku cacat pada diriku (agar aku dapat meperbaiki diri).”
Terakhir, kami meminta kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang Indah dan sifat-sifat-Nya yang Tinggi agar upaya kami ini diberikan keikhlasan di dalamnya dan bermanfaat bagi saudara kami kaum muslimin. Amin Yaa Rabbal ‘aalamiin.
Beberapa kekeliruan Dalam Memahami Islam
Karena tidak memiliki manhaj (metode) yang benar dalam memahami Islam, kurang mendalamnya mempelajari Islam, atau tidak bertanya kepada para ulama yang raasikh (dalam) ilmunya dalam masalah-masalah yang belum jelas (masih samar), tidak jarang kita menjumpai adanya orang yang memiliki pemahaman yang keliru dalam beragama. Oleh karena itu, sudah selayaknya orang yang mengetahuinya meluruskan orang tersebut agar tidak tergelincir. Berikut ini beberapa contoh keliruan yang perlu diluruskan:
1. Keliru dalam memahami makna “Laailaahaillallah”
Misalnya mengira bahwa maknanya adalah ‘tidak ada Pencipta selain Allah’, ‘tidak ada Pemberi rezeki selain Allah,” dsb.
Ya, memang benar tidak ada Pencipta selain Allah dan tidak ada Pemberi rezeki selain Allah, akan tetapi itu bukan makna Laailaahaillallah, makna yang benar adalah “Laa ma’buuda bihaqqin illallah” artinya tidak ada tuhan yang berhak disembah atau ditujukan berbagai macam ibadah kecuali Allah saja. Yakni segala macam ibadah baik berdoa, meminta perlindungan, ruku’, sujud, berkurban, bertawakkal dan ibadah lainnya tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah saja.
Mungkin seorang bertanya, “Mengapa Tidak ada Pencipta selain Allah bukan makna Laailaahaillallah?”
Jawab: Karena orang-orang musyrik di zaman jahiliyyah meyakini demikian, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang musyrik), “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab, “Allah,” maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?, (QS. Az Zukhruf: 67)
Jika sekiranya makna Laailaahaillallah adalah tidak ada Pencipta selain Allah tentu orang-orang musyrik di zaman jahiliyyah tidak dikatakan orang-orang kafir dan tidak diancam masuk neraka, karena mereka mengakui bahwa Pencipta mereka adalah Allah. lalu apa sebabnya mereka diancam masuk neraka dan dikatakan sebagai orang kafir? Jawab: Karena mereka menyembah atau mengarahkan berbagai macam ibadah kepada selain Allah. Dengan demikian, jelaslah bahwa maknanya adalah tidak ada tuhan yang berhak disembah atau ditujukan berbagai macam ibadah kecuali Allah saja. Hal ini menunjukkan tidak cukupnya tauhid rububiyyah (pengakuan bahwa Allah Pencipta, Penguasa, dan Pengatur alam semesta) tanpa adanya tauhid uluhiyyah atau Laailaahaillallah (pengakuan bahwa Allah saja yang berhak disembah; tidak selain-Nya).
2. Tidak mengerti makna Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
Makna Muhammad adalah hamba Allah adalah kita meyakini dan mengakui bahwa Muhammad adalah hamba Allah, dimana hal ini menunjukkan tidak bolehnya kita bersikap ifrath (berlebih-lebihan) terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keadaan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang hamba. Oleh karena itu, kita tidak boleh menempatkan Beliau sebagai tuhan. Kita tidak boleh berdoa kepada Beliau, meminta kepada Beliau, ruku’ dan sujud kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengarahkan ibadah lainnya kepada Beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ *(البخاري)
“Jangan kalian memuji aku berlebihan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani kepada Isa putra Maryam, aku hanyalah hamba-Nya, katakanlah, “Hamba Allah dan utusan-Nya.” (HR. Bukhari)
Sedangkan maksud Beliau adalah rasul (utusan) Allah adalah mengakui dan meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, dimana hal ini menghendaki kita tidak bersikap tafrith (meremehkan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Oleh karena Beliau adalah utusan Allah, maka sikap kita terhadap utusan Allah adalah menaati perintahnya, menjauhi larangannya, membenarkan perkataannya, mengedepankan perkataannya di atas semua perkataan manusia, dan beribadah kepada Allah sesuai contohnya.
3. Keliru dalam memahami makna “Ibadah”
Misalnya menganggap bahwa “ibadah hanya terbatas di masjid saja atau ibadah hanya terkait dengan hati saja.” Karena anggapan ini sehingga ada orang yang memisahkan antara urusan dunia dengan agama dan ibadah. Padahal yang benar bahwa ibadah itu mencakup segala yang dicintai Allah dan diridhai-Nya baik berupa perkataan, perbuatan, maupun amalan hati. Ia bisa mengena kepada aktifitas sehari-hari seseorang dari sejak bangun tidur hingga tidur kembali, baik yang dilakukan di masjid maupun di luar masjid. Ibadah juga tidak hanya terkait dengan hati, bahkan lisan, dan anggota badan ada ibadahnya.
Contoh ibadah dengan hati adalah berkeyakinan dengan keyakinan yang diperintahkan oleh Islam (berakidah yang benar), memiliki rasa takut dan harap kepada Allah, bertawakkal kepada Allah, cinta kepada Allah, menghayati dzikir lisan, dan mengerjakan perintah Allah lainnya yang terkait dengan hati, termasuk pula memiliki niat untuk mengerjakan kebaikan.
Contoh ibadah dengan lisan adalah membaca Al Qur’an, beramar ma’ruf (menyuruh orang lain mengerjakan perintah Allah) dan bernahy mungkar (mencegah orang lain mengerjakan larangan Allah), mengajak manusia kepada Allah (dakwah), berdzikir, bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengucapkan salam, dsb.
Sedangkan contoh ibadah anggota badan adalah berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, menaati pemimpin dalam hal yang bukan maksiat, menolong orang yang kesusahan, berjihad melawan orang-orang kafir, dsb.
Ada juga suatu ibadah yang di dalamnya terdapat ibadah hati, lisan dan anggota badan, misalnya shalat.
Perbuatan biasa juga bisa menjadi ibadah apabila diniatkan untuk ibadah seperti tidur, makan dan minum untuk memenuhi hak badan dan agar bisa lebih kuat melakukan ibadah. Jual-beli dengan mengikuti aturan Islam juga ibadah. Menikah karena mengikuti perintah Allah juga ibadah, mencari rezeki untuk memberi nafkah kepada anak dan istri juga ibadah, karena Allah memerintahkan demikian.
4. Keliru dalam memahami maksud “Wasath fid diin” (pertengahan dalam beragama)
Misalnya menganggap bahwa orang yang berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah disertai rasa cinta yang tinggi adalah mutasyaddid/ghuluw (berlebihan). Bahkan yang benar adalah bahwa berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah disertai rasa cinta itulah Al Wasath, dan Al Wasath inilah jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka adalah kaum yang wasath (pertengahan) antara ifrath (berlebihan sehingga melewati aturan yang ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan berbuat bid’ah dan tafrith (meremehkan ajaran Islam), antara Qadariyyah dan Jabriyyah, antara kaum Naashibah (memusuhi ahlul bait) dan Raafidhah (berlebihan terhadap ahlul bait), antara kaum Khawarij dan Murji’ah dsb.
Marwan bin Musa