Lisensi Puitis Jalan Menuju Keindahan
Dalam tata bahasa, khususnya bahasa Indonesia, terdapat enam
laras bahasa yang paling sering digunakan. Enam laras tersebut adalah laras
hukum, ilmiah, bisnis, jurnalistik, kreatif, dan sastra. Di antara keenamnya,
laras sastra memiliki satu keistimewaan yang tidak dimiliki laras lain, yakni
lisensi puitis (poetic license atau licentia poetica). Lisensi puitis mengizinkan
penulis karya sastra melakukan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan demi
mencapai nada atau estetika tertentu dalam penyampaiannya. Efektivitas kalimat,
pola subjek+predikat+objek+keterangan, kata-kata baku … semua bisa dilanggar
oleh penulis karya sastra tanpa perlu repot-repot menjelaskan mengapa dia berbuat
demikian.
Ketika menjelaskan kepada para peserta kelas kepenulisan tentang
tata bahasa, saya akan selalu menekankan bahwa meski memiliki lisensi puitis, sebaiknya
penulis tetap memperhatikan kaidah kebahasaan. Ini bertujuan meminimalisir potensi
salah kaprah oleh pembaca. Selain itu, ini juga perlu dilakukan agar penulis,
terutama pemula, lebih memahami dan terbiasa menerapkan tata bahasa yang baik
dan benar. Intinya, jangan mentang-mentang menulis karya sastra, kita jadi abai
akan kebakuan bahasa atas nama lisensi puitis.
Tak dapat dimungkiri, Lisensi puitis justru kadang menjadi semacam
perisai untuk menyamarkan kedangkalan pengetahuan kita tentang tata bahasa.
Kita berlindung di balik lisensi tersebut untuk membenarkan penyimpangan
terhadap aturan yang berlaku.
Mungkin penyimpangan itu memang lantaran ketidaktahuan sehingga
bisa dikategorikan sebagai ketidaksengajaan. Akan tetapi, alangkah luhurnya jika
kita berupaya menambah pengetahuan sebelum mulai serius menulis.
Ada satu kebiasaan buruk para penulis pemula yang menurut saya
sangat parah. Mereka tidak melakukan self-editing alias swasunting sebelum
mengirimkan tulisannya ke redaksi media atau penerbit. Entah karena tidak tahu
caranya, atau memang malas karena berpikir, “ah, nanti kan ada editor yang akan
menangani.”
Percayalah, editor pun tidak punya cukup waktu untuk meneliti huruf
per huruf dalam tulisan Anda, apalagi jika dia merasa konten tulisan itu tidak
menarik sama sekali. Manakala membaca tulisan itu secara sepintas, lantas editor
menganggapnya menarik atau berpotensi menghadirkan hal-hal unik, masih ada
kemungkinan dia bersedia menanggung kesengsaraan memperbaiki berbagai saltik
ataupun kalimat-kalimat tidak efektif di dalamnya. Namun, ketika baru membaca satu/dua
kalimat saja editor merasa itu kurang menarik, apalagi jika ternyata banyak pelanggaran
kaidah kebahasaan di sana, hanya keajaiban yang bisa membatalkan keputusannya
untuk membinasakan tulisan itu dalam sepersekian detak jantung.
Maka dari itu, bagi mereka yang hendak mengirim tulisan ke
media, sebaiknya punya fondasi yang kuat terlebih dahulu ihwal kaidah
kebahasaan sebelum mulai menghasilkan karya. Kasihanilah pembaca yang menjadi
target pemasaran tulisan Anda. Mereka mungkin menjadikan tulisan Anda sebagai
referensi kaidah kepenulisan. Dengan tulisan yang amburadul, Anda akan
menyesatkan banyak orang.
Imbauan ini tidak ditujukan kepada para penulis semata. Orang-orang
yang dipercaya sebagai editor pun, baik secara resmi maupun sekadar sebagai
penguji baca pertama sebuah tulisan, wajib meningkatkan kapasitasnya tanpa
jenuh. Saya mengatakan wajib karena bahasa pun terus mengalami perkembangan dinamis.
Untuk itu, penulis ataupun editor harus rajin-rajin mengecek KBBI, EYD, dan
berbagai literatur kebahasaan.
Sebagai informasi, penguji baca pertama yang dimaksud adalah orang
pertama yang penulis mintai pendapat setelah membuat sebuah karya. Untuk
memberi pendapat tentang sebuah tulisan, tentu kita perlu mengetahui bagaimana
sebuah tulisan yang baik, bukan? Karena itu, penulis pun seharusnya meminta
pendapat kepada orang yang kira-kira bisa memberi masukan berharga tentang
kepenulisan, bukan mereka yang benar-benar awam.
Acap saya menemukan kiriman di media sosial berupa sepenggal karya
sastra, dan si penulis meminta umpan balik dari para pembaca tentang tulisan
tersebut. Akan tetapi, para warganet Cuma berkomentar datar seperti “bagus”, “mantap”,
“keren”, “lanjut”, dan semacamnya.
Bukan respons seperti itu yang sesungguhnya diinginkan si
pengirim tulisan, apalagi kalau dia memang punya impian menjadi penulis. Lain
hal kalau dia Cuma berniat mencari popularitas tanpa kualitas. Yang dikehendaki
oleh orang-orang yang sungguh-sungguh ingin jadi penulis adalah opini tentang
kelebihan dan kekurangan tulisannya. Itulah yang terpenting buat mereka agar bisa
menghasilkan karya yang lebih baik ke depannya.
Kembali ke soal lisensi puitis, saya harap, tidak ada lagi
penulis yang menyalahgunakannya. Jangan menjunjung tinggi lisensi ini hanya demi
pembenaran atas kebodohan atau kemasabodohan terhadap kaidah kepenulisan.
Gunakanlah lisensi puitis seperlunya, yakni untuk mencapai sebuah keindahan,
yang memang menjadi pembeda laras sastra dari laras-laras bahasa lainnya.
#SalamLiterasi