Kisah Nabi Muhammad (5)

بسم الله الرحمن الرحيم
Kisah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (bag. 5)
Yatsrib menjadi Madinatun Nabi (kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Setelah mengarungi padang pasir yang sangat luas dan sangat panas, akhirnya pada hari Senin kira-kira tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun 1 Hijrah, tibalah Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam di Quba’, sebuah tempat kira-kira 10 kilometer jauhnya dari Yatsrib. Selama empat hari beristirahat, Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam mendirikan sebuah masjid, yaitu masjid Quba’. Inilah masjid yang pertama kali didirikan dalam sejarah Islam.
Pada hari Jum’at 12 Rabi’ul Awwal tahun 1 Hijrah, Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam, Abu bakar dan Ali bin Abi Thalib memasuki kota Yatsrib dengan mendapatkan sambutan hangat, penuh kerinduan dan rasa hormat dari penduduknya. Pada hari itu juga, Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam mengadakan shalat Jum’at yang pertama kali dalam sejarah Islam dan Beliau berkhutbah di hadapan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar). Sejak ini Yatsrib berubah namanya menjadi Madinatun Nabi artinya “Kota Nabi”, yang selanjutnya disebut Madinah.
Setelah menetap di Madinah, barulah Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam memulai rencana mengatur siasat dan membentuk masyarakat Islam, yang bebas dari ancaman dan tekanan, mempertalikan hubungan kekeluargaan antara Anshar (penduduk Madinah) dan Muhajirin (penduduk Makkah yang hijrah ke Madinah), mengadakan perjanjian saling membantu antara kaum muslimin dengan orang-orang bukan Islam, dan menyusun siasat, ekonomi, sosial serta dasar-dasar Negara Islam.
Gerak Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam di Madinah bersifat dua segi: Pertama, membina masayarakat Islam. Kedua, memelihara dan mempertahankan masyarakat Islam tersebut.
Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam membina masyarakat Islam
Dalam membina masyarakat Islam di Madinah, usaha-usaha pokok yang pertama dilakukan Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam antara lain:
1.       Mendirikan masjid
Beliau dahulukan mendirikan bangunan masjid, sebelum mengerjakan bangunan-bangunan lainnya selain rumah tempat kediaman Beliau sendiri, karena masjid memiliki potensi yang sangat vital dalam menyatukan umat dan menyusun kekuatan mereka lahir dan batin untuk membina masayarakat Islam di atas semangat tauhid. Di dalam masjid Beliau mengajarkan tauhid dan pokok-pokok agama Islam kepada kaum Muhajirin dan Anshar. Di dalam masjid kaum muslimin dapat mengerjakan ibadah shalat berjamaah, dapat bertemu, bermusyawarah untuk merundingkan masalah-masalah yang bersama-sama mereka hadapi.
2.       Mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar
Kaum Muhajirin yang jauh dari sanak keluarga dan kampung halaman mereka, dipererat oleh Beliau dengan mempersaudarakan mereka dengan kaum Anshar, karena kaum Anshar telah menolong mereka dengan ikhlas dan tidak memperhatikan keuntungan-keuntungan yang bersifat materi, melainkan hanya karena mengharapkan keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla. Abu bakar Beliau persaudarakan dengan Haritsah bin Zaid, Ja’far bin Abi Thalib Beliau persaudarakan dengan Mu’adz bin jabal, dan Umar bin Khaththab Beliau persaudarakan dengan ‘Itbah bin Malik. Begitu seterusnya setiap orang dari kaum Anshar dipersaudarakan dengan kaum Muhajirin, dan persaudaraan itu hukumnya sebagai saudara kandung dan mereka dapat saling mewarisi setelah wafatnya, hingga tiba perang Badar Allah menghilangkan “saling mewarisi” (lihat QS. Al Anfal: 75) namun tetap tidak menghilangkan persaudaraan.
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, Beliau mempersaudarakan antara Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Ar Rabi’. Lalu Sa’ad bin Ar Rabi’ berkata kepada Abdurrahman bin ‘Auf, “Sesungguhnya saya orang Anshar yang paling banyak hartanya, marilah kita bagi menjadi dua bagian. Saya pun memiliki dua istri, maka silahkan siapa wanita yang kamu sukai agar aku ceraikan. Jika telah selesai ‘iddahnya maka nikahilah.” Lalu Abdurrahman berkata, “Semoga Allah memberkahi keluargamu dan hartamu, di manakah pasar?” maka Sa’ad pun menunjukkan pasar bani Qainuqa’. Setiap kali Abdurrahman pulang dari pasar, ia membawa kelebihan makanan aqith dan samin dst. Sehingga pada suatu ketika Abdurrahman bin ‘Auf datang dengan tampak bekas kuning di dahinya, lalu Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimanakah keadaanmu sekarang?” Abdurrahman menjawab, “Saya sudah menikah.” Beliau bertanya lagi, “Berapa mahar yang kamu berikan?” Abdurrahman menjawab, “Emas sebesar biji.”
Di tempat yang baru itu, sebagian dari mereka ada yang hidup berdagang dan ada yang hidup bertani.
Sedangkan untuk segolongan orang Arab yang menyatakan masuk Islam dalam keeadaan miskin disediakan tempat tinggal di bagian masjid yang kemudian dikenal dengan nama As-habus Shuffah. Keperluan hidup mereka dipikul bersama oleh Muhajirin dan Anshar yang telah berkecukupan.
3.       Perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi
Untuk mewujudkan suasana  tentram dan aman di kota yang baru, Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam membuat perjanjian damai dengan orang-orang yahudi yang tinggal di dalam dan di sekeliling kota Madinah. Dalam perjanjian ini ditetapkan hak kemerdekaan setiap golongan untuk memeluk dan menjalankan agamanya. Inilah salah satu perjanjian politik yang memperlihatkan kebijaksanaan Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang ahli politik yang ulung.
Di antara isi perjanjian yang dibuat Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum yahudi itu antara lain:
          Bahwa kaum Yahudi dengan kaum mukminin adalah satu umat, kedua belah pihak bebas menjalankan agamanya masing-masing.
          Orang-orang Yahudi yang memikul belanja mereka sendiri, dan orang-orang muslim juga yang memikul belanja mereka sendiri.
          Kaum muslimin dan kaum Yahudi wajib bergotong royong, melawan siapa saja yang memerangi mereka,
          Kaum muslimin dan kaum yahudi wajib nasihat-menasihati, tolong-menolong dan melaksanakan kebajikan.
          Seseorang tidaklah disalahkan karena kesalahan sekutunya.
          Orang yang terzalimi wajib dibela.
          Orang-orang yahudi bersatu dengan kaum mukmin selama mereka dalam kondisi perang.
          Kota Madinah adalah kota suci yang wajib dihormati.
          Kalau terjadi perselisihan di antara kaum Yahudi dan kaum Muslimin, sekiranya dikhawatirkan akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka urusan itu hendaklah diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam.
          Orang-orang Quraisy tidak boleh dibela, juga tidak boleh dibela orang-orang yang membelanya.
          Mereka harus sama-sama melawan orang yang menyerang Madinah.
          Hanya orang zalim atau berdosa saja yang berani menentang perjanjian ini.
Perjanjian politik yang dibuat Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam, menjamin kemerdekaan beragama dan mengakui hak asasi manusia. Perjanjian yang dibuat oleh Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam ini merupakan peristiwa baru dalam dunia politik dan peradaban, sebab waktu itu di berbagai pelosok bumi, masih berlaku perampasan hak asasi manusia.
4.       Meletakan dasar-dasar politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat Islam
Karena masyarakat Islam sudah terwujud, maka sudah tiba saatnya bagi Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam untuk menentukan dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat Islam, baik di lapangan politik, ekonomi, sosial maupun lainnya. Di Madinah inilah turun wahyu yang mengandung perintah berzakat, berpuasa dan hukum-hukum yang berkaitan dengan pelanggaran, jinayat (pidana), dll. Ayat-ayat yang turun dalam periode Madinah ini sebagian besarnya berkaitan dengan pembinaan hukum Islam. Di antara ayat-ayat yang belum jelas dan belum rinci, maka diperjelas dan dirincikan oleh Nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnahnya baik dengan perkataan maupun perbuatan Beliau. Maka timbullah daripadanya dua sumber hukum Islam, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa

Maraji’: Al Qur’anul Karim (Terj. DEPAG bagian mukadimah), Ar Rahiiqul Makhtum (Syaikh Shafiyyurrahman), Tafsir Ibnu Katsir, dll.