Kisah Nabi Muhammad (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Kisah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (bag. 2)
Akhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari masa kanak-kanak hingga dewasa
Dalam perjalanan hidupnya sejak masih kanak-kanak hingga dewasa dan sampai diangkat menjadi rasul, Beliau terkenal sebagai orang yang jujur, berakhlak mulia dan mempunyai kepribadian yang tinggi. Tidak ada satu pun perbuatan dan tingkah lakunya yang tercela yang dapat dituduhkan kepadanya, berbeda dengan tingkah laku kebanyakan pemuda-pemuda dan penduduk kota Makkah pada umumnya yang gemar berfoya-foya.
Ahli sejarah menuturkan, bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak kecil hingga dewasa tidak pernah menyembah berhala, tidak pernah makan daging hewan yang disembelih untuk korban berhala-berhala. Beliau sangat benci kepada berhala dan menjauhkan diri dari keramaian dan upacara-upacara pemujaan terhadap berhala.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Beliau berusaha sendiri mencari nafkah, karena orang tuanya tidak meninggalkan harta warisan yang cukup. Setelah menikah dengan siti Khadijah, Beliau berdagang bersama dengan isterinya dan kadang-kadang berdagang dengan orang lain.
Sebagai seorang manusia yang akan menjadi pembimbing segenap umat manusia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki bakat-bakat dan berjiwa besar, kecerdasan pikirannya, ketajaman otaknya, kehalusan perasaannya, kekuatan ingatannya, kecepatan tanggapannya dan kerasnya kemauan. Beliau memiliki banyak pengalaman dan mendapatkan pengolahan yang sempurna dalam jiwanya.
Beliau mulai menyiapkan dirinya dengan bertahannuts (menjauhi perbuatan dosa) untuk mendapatkan pemusatan jiwa yang lebih sempurna. Untuk bertahannuts ini dipilihnya tempat di sebuah gua yang kecil bernama Hira’ yang terletak pada sebuah bukit yang bernama Jabal Nur (letaknya kira-kira dua atau tiga mil sebelah utara kota Makkah).
Meskipun Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan daya pikirannya yang jernih berusaha merenungi tentang Pencipta alam semesta, namun sebelum kenabiannya, Beliau tidak sampai kepada hakikat Penciptanya, sebagaimana diisyaratkan Allah Subhaanahu wa Ta’aala dalam Al Qur’an:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ
“Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu.”(Terj. QS. Asy Syuuraa: 52)
Demikian juga dalam surat Adh Dhuhaa:
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Terj. QS. Adh Dhuha: 7)
Yang dimaksud dengan bingung di sini ialah kebingungan untuk mendapatkan kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh akal, lalu Allah Subhaanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan untuk memimpin umat menuju keselamatan dunia dan akhirat.
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi Nabi dan Rasul
Ketika menginjak usia 40 tahun, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak mengerjakan tahannuts dari waktu-waktu sebelumnya. Pada bulan Ramadhan dibawanya perbekalan yang lebih banyak dari biasanya, karena akan bertahannuts lebih lama dari waktu-waktu sebelumnya. Dalam melakukan tahannuts kadang-kadang Beliau bermimpi, mimpi yang benar.
Kira-kira pada malam 21 Ramadhan[i], di waktu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bertahannuts di gua Hira’, datanglah malaikat Jibril ‘alaihis salam membawa wahyu dan menyuruh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca, ia berkata, “Bacalah”. Dengan terperanjat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Saya tidak dapat membaca.” Beliau lalu direngkuh oleh Malaikat Jibril hingga merasakan kepayahan, lalu dilepaskan sambil disuruh membacanya sekali lagi, “Bacalah”. Tetapi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap menjawab, “Aku tidak dapat membaca”. Begitulah keadaan tersebut berulang sampai tiga kali, dan pada ketiga kalinya Jibril berkata kepadanya:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)     
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan–Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah–Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah–Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam–Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(Terj. QS. Al ‘Alaq: 1-5)
Dengan turunnya surat ini Beliau telah diangkat menjadi nabi. Setelah itu, Jibril pun meninggalkannya dan Beliau akhirnya pulang ke rumahnya dan menghampiri Khadijah dalam keadaan bergemetar sambil berkata, “Selimutilah aku! Selimutilah aku”, maka Khadijah pun menyelimutinya sehingga rasa takut yang menimpanya hilang. Lalu Beliau memberitahukan Khadijah tentang apa yang didapatkannya dan berkata “Sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku.” Namun Khadijah menanggapinya dengan berkata:
“Sekali-kali tidak, demi Allah. Dia tidak akan merendahkan dirimu selamanya, karena sesungguhnya engkau adalah orang yang menyambung tali silaturrahim, menanggung beban kesusahan orang lain, memberi orang yang tidak punya, menjamu tamu dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.”
Demikianlah Khadijah menenangkan suaminya.
Setelah itu Khadijah pun membawa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak pamannya Waraqah bin Naufal, ia seorang pemeluk agama Nasrani di zaman Jahiliyyah dan dapat menulis dengan bahasa Ibrani, ia telah mempelajari serta menyalin ke bahasa Arab isi kitab Injil, usianya sudah lanjut dan matanya sudah buta, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kejadian yang menimpa dirinya.
Setelah didengarnya cerita itu, Waraqah berkata, “Ini adalah wahyu yang Allah turunkan kepada Musa ‘alaihis salam. Wahai kiranya aku ketika itu masih muda dan aku masih hidup pada saat kaummu mengusirmu.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah mereka akan mengusirku?”
Waraqah menjawab. “Ya, tidak ada seorang pun yang datang membawa seperti yang engkau bawa kecuali akan dimusuhi. Kalau sekiranya aku masih menjumpai hari waktu engkau dimusuhi itu, tentu aku akan menolong engkau sekuat tenaga.”
Namun tidak lama kemudian Waraqah wafat (sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari).
Beberapa lama kemudian, Beliau kembali ke gua Hira’ untuk melanjutkan tahannutsnya, setelah itu Beliau turun dari gua Hira’ dan kembali ke Makkah, pada saat perjalanan pulang, Beliau mendengar suara di langit, Beliau pun melihat ke langit, ternyata tampak malaikat Jibril sedang duduk di atas kursi antara langit dan bumi, Beliau pun merasa takut dan segera pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah Beliau meminta diselimuti. Dalam keadaan berselimut itu, datanglah Jibril ‘alaihis salam menyampaikan wahyu kedua kepada Beliau yang bunyinya:
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
“Wahai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu sampaikanlah peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah. Pakaianmu sucikanlah. Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh balasan yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah.” (Terj. QS. Al-Muddatstsir: 1-7).
Setelah itu wahyu pun turun terus-menerus dan berkelanjutan.
Dengan turunnya ayat ini, Beliau pun menjadi seorang rasul. Dan dengan turunnya ayat ini, menjadi jelaslah apa kewajiban Beliau, yaitu mengajak umat manusia menyembah dan beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan meniadakan sesembahan selain-Nya.
Menyiarkan agama Islam secara sembunyi-sembunyi
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima wahyu yang kedua yang menjelaskan tugasnya, mulailah Beliau berdakwah secara sembunyi-sembunyi menyeru keluarganya dan sahabat-sahabat terdekatnya, agar mereka meninggalkan agama berhala dan menyembah hanya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala saja Yang Maha Esa. Maka yang pertama beriman kepada Beliau adalah istrinya sendiri yaitu Siti Khadijah, disusul oleh putra pamannya yaitu Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah budak Beliau.
Setelah itu, Beliau mengajak Abu Bakar, sahabat karib Beliau, dan dengan perantaraan Abu Bakar banyak orang-orang yang memeluk Islam, antara lain: Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, Arqam bin Abil Arqam, Fathimah binti Khaththab (adik Umar bin Khaththab) beserta suaminya Sa’id bin Zaid dan beberapa orang lainnya dari kabilah Quraisy. Mereka inilah yang diberi gelar “As Saabiquunal Awwaluun” yang artinya: Orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Mereka ini mendapatkan pelajaran agama Islam dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di tempat yang tersembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam dalam kota Makkah.
Menyiarkan agama Islam secara terang-terangan
Tiga tahun lamanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi, lalu turunlah ayat:
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” (Terj. QS. Asy Syu’ara: 214)
Maka mulailah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kaumnya secara terang-terangan di tempat-tempat terbuka untuk menyembah Allah dan mengesakan-Nya. Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas bukit Shafa memanggil kaum Quraisy, hingga orang-orang pun mengerumuninya, di antara mereka terdapat pamannya Abu Lahab, seorang tokoh Quraisy yang paling memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang telah berkumpul, Beliau pun bersabda, “Bagaimana menurut kalian, seandainya saya memberitahukan kalian bahwa di balik gunung ini ada musuh yang sedang menanti kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?” mereka menjawab, “Ya, yang kami ketahui tentang anda adalah kejujuran.” Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan kepada kalian sebelum datang azab yang pedih.” Abu Lahab pun berkata, “Celaka kamu sepanjang hari, apakah karena hal ini kamu kumpulkan kami?” maka terhadap Abu Lahab turunlah surat Al Lahab.
Reaksi orang-orang Quraisy
Ketika turun ayat,
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Terj. QS. Al Hijr: 94)
Maka dakwah tauhid ini semakin terdengar di pelosok-pelosok Makkah dan Beliau semakin tegas menjelaskan batilnya menyembah berhala, membuatkan permisalan-permisalan yang membuktikan kelemahan berhala serta menerangkan bahwa orang yang menyembah berhala dan menjadikannya seagai perantara antara dia dengan Allah berada dalam kesesatan yang nyata, bangkitlah kemarahan orang-orang Quraisy dan mulailah mereka melancarkan permusuhan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutinya.
Banyak pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disiksa di luar peri kemanusiaan, terutama sekali pengikut yang berasal dari golongan rendah. Sebagaimana yang dialami Yasir dan Sumayyah yang akhirnya mati syahid,  demikian juga yang dialami putera mereka ‘Ammar. Begitu pula siksaan yang ditimpakan Umayyah bin Khalaf  dan Abu Jahal kepada Bilal bin Rabaah. Sebelumnya Bilal masuk Islam melalui perantaraan Abu Bakar. Suatu ketika Umayyah memergokinya, lalu ia menimpakan berbagai siksaan kepada Bilal agar ia meninggalkan agama Islam. Namun Bilal menolak dan tetap berpegang teguh dengan agama Islam. Ia pun dibawa ke luar kota Makkah dalam keadaan tubuhnya terikat rantai, setelah itu tubuhnya ditelentangkan di atas pasir-pasir yang panas kemudian diletakkan batu besar di atas dadanya, lalu dihujani dengan cambukan. Namun Bilal berkali-kali hanya mengucapkan “Ahad, Ahad (Allah maha Esa)…, ketika Abu Bakar melihatnya, Abu Bakar pun membelinya dan memerdekakannya di jalan Allah.
Di antara hikmah dari penyiksaan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kaum muslimin agar tidak mengumumkan keislaman mereka secara terang-terangan dan Beliau pun berkumpul dengan mereka secara diam-diam. Karena jika Beliau berkumpul secara terang-terangan dengan para sahabat, nantinya orang-orang musyrikin akan menghalangi mereka dari Beliau, sehingga Beliau tidak bisa membina mereka (tasfiyah) dan tidak bisa mengajarkan mereka Al Qur’an dan As Sunnah (tarbiyah). Bahkan bisa saja terjadi bentrokan yang mengakibatkan binasanya kaum muslimin, mengingat sedikitnya jumlah mereka. Oleh karena itu, mereka diperintahkan masuk Islam secara sembunyi-sembunyi. Lain halnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau tetap berdakwah dan beribadah secara terang-terangan  di hadapan orang-orang musyrik, sekali pun Beliau menerima gangguan dari kaum kaum Kafir Quraisy.
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa

Maraji’: Al Qur’anul Karim (Terj. DEPAG bagian mukadimah), Ar Rahiiqul Makhtum (Syaikh Shafiyyurrahman), Tafsir Ibnu Katsir, dll.



[i] Ini adalah pendapat Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarafuriy dalam Ar Rahiqul Makhtum, namun menurut yang lain, bahwa Al Qur’an turun pada tanggal 17 Ramadhan, wallahu a’lam.