Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Menetapkan Akidah dan Hukum

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫حجية خبر الآحاد‬‎
Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Menetapkan Akidah dan Hukum
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:
Sebagian orang ada yang tidak mengerti agama, ada yang melemparkan tasykik (keragu-raguan) ke dalam hati kaum muslimin terhadap hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka menerima yang mutawatir saja dan menolak yang ahad meskipun shahih. Padahal ketika mereka menolak hadits ahad yang shahih pada hakikatnya mereka menolak sebagian besar masalah akidah dan syariat dalam agama ini, wal ‘iyadz billah.
Maka dalam risalah ini, kami akan sampaikan kepada Anda tentang kehujjahan hadits Ahad dalam menetapkan akidah dan syariat, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) hadits ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang belum terpenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang banyak (minimal 10 orang dan seterusnya) yang secara kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat berdusta. (Lihat Mushthalahul Hadits Al Muyassar hal. 9)
Hadits Ahad terbagi menjadi tiga bagian: (a) Masyhur, diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih (di bawah batas minimal mutawatir) dalam setiap lapisan sanad, (b) ‘Aziz, diriwayatkan tidak kurang dari dua orang rawi dalam setiap lapisan sanad, dan (c) Gharib, diriwayatkan oleh seorang rawi. (Lihat Mushthalahul Hadits Al Muyassar hal. 10-12)
Para ulama membagi hadits ke dalam hadits mutawatir dan ahad, bukanlah untuk menolak hadits, bahkan mereka membaginya untuk memilah mana yang jumlah jalurnya lebih banyak dan mana yang sedikit. Hal itu, karena hadits ahad jika shahih, maka wajib diterima.
Dalil dari Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ yang menunjukkan kehujjahan hadits ahad dalam akidah dan hukum
Pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Mengapa tidak pergi dari setiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)
Kata ‘thaaifah’ dalam ayat tersebut mencakup satu orang atau lebih sebagaimana pada firman Allah Ta’ala,
إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ
“Jika Kami memaafkan segolongan kamu.”(QS. At Taubah: 66)
Muhammad bin Ka’ab menafsirkan kata ‘thaaifah’ (segolongan) dengan seorang laki-laki.
Imam Bukhari berkata, “Seseorang disebut tha’ifah berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!”(QS. Al Hujurat: 9)
Jika ada dua orang saja yang berperang juga masuk ke dalam ayat ini. (Lihat Shahih Bukhari, kitab Akhbarul Ahad 8/132)
Dengan demikian, dalam surat At Taubah ayat 122, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan suatu kaum menjaga diri ketika diberikan peringatan oleh seseorang dan agar mereka mengamalkan nasihatnya itu.
Kedua, firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al Hujurat: 6)
Ayat ini menunjukkan diterimanya berita dari seorang yang tsiqah (terpercaya), dan bahwa terhadap orang ini tidak perlu diteliti, karena tidak sebagai orang yang fasik.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan secara pasti diterimanya berita dari seorang, dan tidak butuh diteliti. Kalau sekiranya beritanya tidak membuahkan ilmu, tentu Allah akan memerintahkan kita untuk menelitinya sehingga diperoleh ilmu. Hal ini ditunjukkan pula oleh praktek kaum salafush shalih dan para Imam dalam Islam yang senantiasa berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, berbuat demikian, dan memerintahkan demikian.” (Mukhtashar Ash Shawaiq Al Mursalah 2/394, 395)
Ketiga, firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. An NIsaa’: 59)
Ibnul Qayyim juga berkata, “Kaum muslimin sepakat, bahwa mengembalikan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kembali kepada Beliau di masa hidup Beliau, dan kembali kepada Sunnah Beliau setelah wafatnya. Mereka juga sepakat, bahwa kewajiban merujuk kepada Beliau tidaklah gugur setelah Beliau wafat. Jika ternyata hadits yang mutawatir dan ahad tidak membuahkan ilmu dan keyakinan, maka tidak mungkin lagi rujuk kepadanya.” (Mukhtashar Ash Shawa’iq Al Mursalah 2/353).
Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ، فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Semoga Allah membuat bercahaya wajah seseorang yang mendengar sesuatu dari kami, lalu ia menyampaikannya seperti yang ia dengar. Betapa banyak orang yang disampaikan lebih paham daripada yang mendengar (dari kami).” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”)
Hadits tersebut menyebut “seseorang.” Demikian pula yang disampaikannya adalah umum, baik terkait dengan akidah, hukum, atau lainnya. Kalau sekiranya, hanya masalah amaliyah atau hukum saja yang diterima, sedangkan masalah akidah tidak boleh diterima, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberitahukannya.
Kelima, hal yang sudah menjadi masyhur berdasarkan penukilan yang mutawatir, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan sahabat orang-perorang ke beberapa kabilah, kampung, dan negeri untuk mendakwahkan mereka kepada Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sebagai amirul hajj (Shahih Bukhari, Kitabul Maghazi 5/115), mengutus Ali radhiyallahu ‘anhu ke Yaman (Shahih Bukhari, Kitabul Maghazi 5/110), mengutus Mu’adz ke Yaman untuk mengajak penduduknya keada Islam dan memungut zakat (Shahih Bukhari, Kitabuz Zakat 2/136), mengutus Mus’ab bin Umair ke Madinah (Shahih Bukhari, Kitab Manaqibil Anshar Maghazi 4/263), memerintahkan seseorang untuk menyerukan tentang pengharaman khamr (Shahih Bukhari, Kitabul Asyribah 6/241-242), dll.
Keenam, telah mutawatir dan masyhur praktek para sahabat bersandar kepada berita seseorang dalam berbagai peristiwa, dan telah dinukilkan ijma mereka terhadap hal itu oleh lebih dari seorang ulama (Lihat Al ‘Uddah 3/865, Al Burhan karya Imamul Haramain 1/601, At Tabshirah oleh Asy Syirazi hal. 305, Al Mustashfa (1/148), Raudhatun Nazhir hal. 93, dan Al Mahshul 2/1/527).
Misalnya hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Saat manusia melakukan shalat Subuh di Quba, tiba-tiba ada seorang yang datang dan berkata, “Sesungguhnya semalam telah diturunkan Al Qur’an kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, dan Beliau diperintahkan menghadap ke Ka’bah, maka menghadaplah ke sana!” Ketika itu wajah mereka menghadap ke Syam, lalu mereka berputar menghadap ke arah Ka’bah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu juga bersandar kepada berita Mughirah dan Muhammad bin Maslamah tentang warisan nenek (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Hakim, Al Hafizh berkata, “Isnadnya shahih karena tsiqah para perawinya, hanyasaja gambarannya adalah mursal, karena Qabishah tidak sahih mendengar dari Ash Shiddiq.”)
Umar radhiyallahu ‘anhu juga bersandar kepada apa yang disampaikan Abdurrahman bin Auf tentang pengambilan jizyah (upeti) dari orang-orang Majusi (Shahih Bukhari, kitabul Jizyah wal Muwada’ah, 4/62).
Utsman radhiyallahu ‘anhu juga bersandar kepada berita Furai’ah binti Malik tentang tempat tinggal bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, dinyatakan hasan shahih oleh Tirmidzi).
Para sahabat juga menumpahkan khamr (arah) bersandar kepada berita seseorang tentang pengharaman khamr (Shahih Bukhari, Kitab Akhbaril Ahad, 8/34)
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata,
“Para Ahli Ilmu dari kalangan Ahli Fiqih dan Hadits di berbagai negeri sepakat –menurut yang saya ketahui- diterimanya khabar (berita) seorang yang adil dan wajibnya beramal dengannya jika sahih serta tidak dimansukh oleh atsar (hadits) maupun ijma. Di atas inilah semua Ahli Fiqih berpegang pada setiap zaman dari sejak zaman sahabat sampai hari kita sekarang ini.” (At Tamhid 1/ 2).
Al Qadhiy Abu Ya’la juga menukilkan ijma para sahabat radhiyallahu ‘anhum beramal dengan khabar (hadits) ahad (Al ‘Uddah 3/875).
Imam Syafi’i berkata, “Saya tidak hapal adanya dari para Ahli Fiqih kaum muslimin yang brselisih tentang sahnya khabar (hadits) ahad.” (Ar Risalah hal. 197)
Abul Walid Al Bahiy berkata dalam Ihkamul Fushul hal. 334,
“Al Qasani dan lainnya dari kalangan Qadariyyah berpendapat, bahwa tidak boleh beramal dengan hadits ahad. Namun yang dipegang oleh kaum salaf umat ini dari kalangan sahabat, tabiin, dan para ahli fiqih adalah, bahwa wajib hukumnya beramal dengan hadits ahad. Dalil terhadap hal tersebut adalah ijma para sahabat yang menunjukkan sahnya beramal dengannya.”
Pada hal. 337, ia berkata,
“Orang-orang yang mengikuti mereka (para sahabat) dengan kebaikan juga seperti itu. Syafii dan lainnya berkata, “Kami mendapatkan Ali bin Husain berpegang dengan hadits-hadits ahad, demikian pula Muhammad bin Ali, Jubair bin Muth’im, Nafi’ bin Jubair, Kharijah bin Zaid, Abu Salamah bin Abdurrahman, Sulaiman bin Yasar, Atha bin Yasar, demikian pula yang dilakukan Thawus, Atha, dan Mujahid.”  
Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata, “Khabar ahad jika diterima oleh umat dengan diamalkan dan dibenarkan membuahkan ilmu yang yakin menurut jumhur (mayoritas) umat ini. Bahkan ia merupakan salah satu dari dua bagian mutawatir, dan tidak ada pertentangan dalam hal ini di kalangan kaum salaf umat ini.” (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah hal. 398-400).
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Telah tersebar berita pengamalan para sahabat dan tabiin terhadap hadits ahad tanpa adanya yang mengingkari, sehingga hal tersebut menunjukkan kesepakatan mereka untuk menerima hadits ahad.” (Fathul Bari 13/234).
Jawaban Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah terhadap mereka yang menolak hadits ahad
Pertama, pernyataan bahwa hadits ahad tidak membuah selain zhann (perkiraan) tidaklah secara mutlak, bahkan dalam hadits ahad              ada pula yang membuahkan keyakinan ketika ada qarinah (tanda) yang menunjukkan kebenarannya, seperti ketika umat ini semua menerimanya. Misalnya hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa amal itu tergantung dengan niat. Ini adalah hadits ahad, tetapi kita mengetahui, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan demikian. Inilah yang dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al Hafizh Ibnu Hajar, dan lainnya.
Kedua, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan orang-perorang untuk mengajarkan dasar-dasar akidah, yaitu syahadat Laailaahaillallah dan Muhammad Rasulullah. Pengutusan beliau terhadap seorang sahabat adalah hujjah yang yang harus diikuti, sebagaimana Beliau mengutus Mu’adz ke Yaman, dan pengutusan tersebut dianggap sebagai hujjah yang harus diterima oleh penduduk Yaman.
Ketiga, jika kita katakan, bahwa akidah tidak dapat ditetapkan dengan hadits-hadits ahad, maka bisa juga dikatakan, bahwa masalah amaliyyah juga tidak dapat ditetapkan dengan hadits ahad, karena masalah amaliyyah juga disertai akidah, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan demikian atau melarang demikian. Jika kita menerima pernyataan ini (hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah dalam akidah dan amal), maka akan hilanglah sejumlah hukum-hukum syariat. Jika kita menolak pernyataan bahwa masalah amaliyyah tidak bisa ditetapkan dengan hadits ahad, maka hendaknya kita menolak pernyataan bahwa maalah akidah tidak dapat ditetapkan dengan hadits ahad, karena tidak ada perbedaan keduanya sebagaimana yang telah kami terangkan.
Walhasil, bahwa hadits ahad apabila ada qarinah yang menunjukkan kebenarannya, maka membuahkan ilmu, dan menjadikan masalah amalliyyah dan ilmiyyah (akidah) menjadi kuat, dan tidak ada yang membedakan antara keduanya. Barang siapa yang menyatakan bahwa salah seorang imam kaum muslimin ada yang membedakan antara keduanya, maka hendaknya ia membawakan sanad yang sahih darinya, kemudian menerangkan dalilnya yang bisa dijadikan sandaran.
Keempat, Allah memerintahkan bertanya kepada Ahli Ilmu bagi orang yang tidak mengetahui terutama masalah-masalah besar daam akidah, yaitu tentang kerasulan. Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43) بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,–Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab.” (QS. An Nahl: 43-44)
Ayat ini mencakup bertanya kepada seseorang atau lebih.” (Dari Fatawa fil Aqidaholeh Syaikh Ibnu Utsaimin)
Syubhat dan bantahan
Di antara syubhat mereka yang menolak hadits ahad adalah karena hadits ahad hanya membuahkan zhann (perkiraan) sehingga kemungkinan salah, lupa, atau lalai. Mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala,
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm: 28)
Kita katakan, bahwa zhan (persangkaan) di ayat ini, bukanlah zhan ghalib (perkiraan yang benar), tetapi perkiraan, persangkaan, dan terkaan yang muncul terhadap sesuatu, lalu kita membenarkan dan menghukumi dengannya (Lihat An Nihayah fii Gharibil Hadits wal Atsar 3/162-163)
Demikian pula bahwa zhann dalam ayat tersebut adalah zhann yang tidak ada dalil atau ilmunya sebagaimana yang ditunjukkan di awal ayat tersebut “wa maa lahum bihi min ‘ilm” (artinya: Dan mereka tidak memiliki ilmu terhadapnya).
Hal ini dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala di ayat lain,
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (116)
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira.”(QS. Al An’aam: 116)
Jika mereka mengatakan, bahwa hadits ahad berkemungkinan perawinya keluru, lalai, atau lupa, maka pendapat ini tertolak, karena disyaratkan untuk diteriman hadits ahad keadaan rawinya tsiqah (terpercaya) dan kuat ingatan (dhabith).
Dampak buruk menolak hadits ahad
Banyak sekali dampak buruk akibat menolak hadits ahad, di antaranya adalah hilangnya syariat Islam dan seseorang tidak bisa beribadah kepada Allah, menolak mukjizat-mukjizat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Al Qur’an, menolak berita-berita tentang surga dan neraka yang disebutkan dalam hadits yang sahih, menolak adanya shirat, haudh, dan mizan, menolak tanda-tanda Kiamat, seperti keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa ‘alaihis salam, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari barat, dabbah, dsb.
Kesimpulan
Dengan demikian, pernyataan bahwa hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah dalam akidah adalah pernyataan yang bid’ah, tidak ada asalnya dalam agama ini, dan tidak dinyatakan oleh seorang pun dari kalangan kaum salaf ridhwanullah ‘alaihim ajma’in.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa

Sumber: Hujjiyyah Khabaril Ahad fil ‘Aqidah war Radd ‘alaa Man Ankara Dzaalik (Dr. Abdullah bin Sulaiman Al Ghufailiy), Musthalah Hadits Muyassar(Dr. Imad Ali Jum’ah), Ilmu Mushthalahul Hadits (M. bin Shalih Al Utsaimin), Tuhaftul Ahwadzi (Abul Ala Muhammad Al Mubarakfuriy), Maktabah Syamilah versi 3.45, http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=129539, http://www.khayma.com/kshf/R/3KE/a7ad-g.htm, , http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?languagename=ar&View=Page&PageID=9977&PageNo=1&BookID=2, dll.