بسم الله الرحمن الرحيم
Ikhtishar Ilmu Hadits (6)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Haditskarya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Menyelisihi orang-orang yang tsiqah
– Mudhtrahib,
Hadits Mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari arah seorang rawi atau beberapa orang rawi dengan keadaan yang berbeda-beda padahal sama kuatnya, dan tidak mungkin ditarjih (dikuatkan salah satunya) maupun digabungkan. Perbedaan yang terjadi ini menunjukkan tidak dhabit (kuatnya hafalan) rawi maupun beberapa orang rawi, sedangkan untuk diterimanya hadits disyaratkan rawi tersebut harus dhabit sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Pada umumnya mudhtharib terjadi pada sanad, namun terkadang terjadi pada matan.
Contoh mudtharib pada sanad adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخْطُطْ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka hendaknya ia adakan di depannya sesuatu. Jika ia tidak mendapatkan, maka hendaknya ia tegakkan tongkat, dan jika tidak ada tongkat, maka hendaknya ia buat sebuah garis, selanjutnya tidak mengapa baginya ketika ada yang lewat di depannya[i].”
Hadits ini diperselisihkan terhadap rawinya, yaitu Isma’il bin Umayyah dengan perselisihan yang banyak:
Disebutkan, darinya (Isma’il bin Umayyah), dari Abu ‘Amr bin Muhammad bin Huraits dari kakeknya Huraits dari Abu Hurairah.
Disebutkan pula, darinya, dari Abu ‘Amr bin Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dari kakeknya Huraits bin Sulaim dari Abu Hurairah.
Disebutkan pula dari ini, itu, dst. sampai lebih dari sepuluh jalan. Oleh karena itulah, lebih dari seorang hafizh seperti An Nawawi dalam Al Khulashah, Ibnu ‘Abdil Hadiy dan lainnya dari kalangan ulama mutaakhirin menghukumi mudhthraibnya sanad ini[ii].
Contoh mudhtarib pada matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi[iii] dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy Sya’biy dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang zakat, maka Beliau menjawab,
إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
“Sesungguhnya pada harta ada hak selain zakat.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah[iv]dari jalan ini pula dengan lafaz,
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada hak dalam harta selain zakat.”
Al Hafizh Al ‘Iraqiy berkata: Ini adalah mudhtharib yang tidak mengandung (butuh) ta’wil…dst.”
– Mushahhaf, yaitu hadits yang di dalamnya terdapat kata yang berubah yang tidak sesuai dengan yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah baik pada lafaznya maupun maknanya.
Perubahan ini disebut tas-hif, dan tas-hif ini bisa pada isnad maupun matan.
Contoh tas-hif pada isnad adalah:
شعبة عن العوام بن مراجم (Syu’bah dari Awam bin Murajim)
Ibnu Ma’in mentas-hifnya menjadi:
شعبة عن العوام بن مزاحم (Syu’bah dari Awam bin Muzahim)
Sedangkan Contoh tas-hif pada matan adalah:
أن النبي صلى الله عليه وسلم احتجر فى المسجد
Ibnu Lahi’ah mentas-hifnya menjadi:
أن النبي صلى الله عليه وسلم احتجم فى المسجد
Tas-hif juga bisa terjadi penglihatan, yakni karena tulisan yang tidak jelas atau tidak ada titiknya. Contoh:
من صام رمضان و أتبعه ستا من شوال…
Abu Bakar Ash Shauliy mentas-hifnya menjadi:
من صام رمضان و أتبعه شيئا من شوال…
Tas-hif juga bisa terjadi pendengaran, yakni karena telinga yang sedang sakit atau suara yang kurang terdengar. Contoh :
حديث مروي عن عاصم الأحول
Sebagian orang mentas-hifnya menjadi:
حديث مروي عن واصل الأحدب
Di atas adalah contoh tas-hif dalam lafaz, dan ini lebih sering terjadi. Ada pula tas-hif dalam makna, dimana seorang rawi membiarkan hadits itu sesuai lafaznya, namun memahaminya keliru, seperti perkataan Abu Musa Al ‘Anaziy, “Kami kaum yang memiliki kemuliaan. Kami berasal dari kabilah ‘Anazah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat menghadap kepada kami.” Ia berdalih dengan hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat menghadap ‘anazah (tombak yang ditegakkan sebagai sutrah bagi orang yang shalat), namun Abu Musa menganggap ‘Anazah sebagai kabilah.
Catatan:
Ada pula istilah Muharraf. Para ulama terdahulu menganggap sama (muradif/sinonim) antara mushahhaf dengan muharraf. Namun di antara ulama ada yang membedakan antara Mushahhaf dengan Muharraf, yakni Mushahhaf adalah berubah pada titik huruf namun tulisannya masih tetap, sedangkan Muharraf adalah berubahnya pada syakal (harakat) huruf namun tulisannya masih tetap.
Contoh hadits Jabir:
رمي أبي يوم الأحزاب على أكحله فكواه رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya: Ubay terkena panah pada perang Ahzab di bagian urat tangannya, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengobatinya dengan besi panas.
Sebagian orang membacanya dengan ‘abi’ (ayahku) yakni ayah jabir, padahal ayah Jabir telah syahid para perang Uhud.
2.5.14 Syadz, lawannya Mahfuzh
Hadits Syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, namun menyelisihi orang yang lebih kuat darinya baik dari sisi hafalan maupun jumlah yang meriwayatkan.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya (1/321) ia berkata:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوفِ
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Hisyam, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Usamah bin Zaid dari Utsman bin ‘Urwah dari Urwah dari Aisyah ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada shaf bagian kanan.”
Syaikh Ali bin Hasan berkata, “Isnadnya, para perawinya adalah tsiqah dan zhahirnya adalah sahih, tetapi dalam matan, Usamah bin Zaid keliru, ia meriwayatkan dengan lafaz, “Alaa mayaaminish shufuuf.” Sedangkan jamaah para rawi yang tsiqah[v]meriwayatkan dengan dengan lafaz:
عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ
“Kepada orang-orang yang menyambung shaf.”
Oleh karena itu, Imam Baihaqi dalam Sunannya (3/103) mengisyaratkan syadznya dengan berkata, “Itulah yang mahfuzh.”
Syadz juga bisa terjadi dalam sanad. Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari jalan Ibnu Uyaynah, dari Amr bin Dinar, dari Ausajah, dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang yang wafat di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidak meninggalkan ahli waris selain maulanya, yang memerdekakannya…dst. Ibnu Uyaynah ini dimutabaahkan (diikuti dari jalur yang sama) oleh Ibnu Juraij dan lainnya dalam memaushulkannya (menyambungkan sanadnya), namun diselisihi oleh Hammad bin Zaid, dimana ia meriwayatkannya dari Amr bin Dinar, dari Ausajah tanpa menyebutkan Ibnu Abbas. Abu Hatim berkata, “Yang mahfuzh adalah hadits Ibnu Uyaynah.”
Hammad bin Zaid memang termasuk orang yang adil dan dhabith, namun Abu Hatim menguatkan riwayat Ibnu Uyaynah karena lebih banyak jumlahnya.
Tambahan
Rawi yang majhul, Pelaku Bid’ah, dan Buruk Hafalan
1. Majhul adalah rawi yang tidak diketahui dirinya atau sifatnya, yakni tidak diketahui siapa ‘dia’ atau diketahui siapa ‘dia’, namun tidak diketahui sifatnya; apakah adil dan dhabit atau tidak.
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang majhul termasuk hadits dhaif.
Majhul ini ada beberapa macamnya:
a. Majhulul ‘ain, yaitu rawi yang disebut namanya, akan tetapi tidak ada yang meriwayatkan darinya selain seorang saja. Hukum riwayatnya adalah tidak diterima, kecuali jika dia ditsiqahkan.
Bagaimanakah cara mengetahui ketsiqahannya?
Jawab: Bisa dinyatakan tsiqah oleh selain orang yang meriwayatkan darinya, dan bisa juga ditsiqahkan oleh orang yang meriwayatkan darinya dengan syarat, ia termasuk orang yang ahli di bidang Jarh wa Ta’dil.
b. Majhulul haal (disebut juga mastur), yaitu rawi yang diambil riwayatnya oleh dua orang atau lebih, tetapi ia tidak dinyatakan tsiqah.
Hukum riwayatnya juga ditolak.
c. Mubham, yaitu rawi yang tidak disebutkan namanya dalam hadits.
Hukumnya juga sama tidak diterima haditsnya sampai disebutkan namanya atau diketahui namanya dari riwayat yang lain.
Jika tidak disebut namanya ada ta’dil (pernyataan tsiqah) terhadapnya, maka apakah diterima? Jawab: Tidak diterima, karena boleh jadi tsiqah bagi orang tertentu, dan tidak tsiqah bagi yang lain.
Catatan:
Adapun jika nama sahabat yang tidak disebut, maka haditsnya diterima, karena para sahabat semuanya adil.
2. Pelaku Bid’ah
Jika bid’ahnya mukaffirah (membuat kafir pelakunya), maka ditolak riwayatnya. Tetapi jika bid’ahnya mufassiqah (membuat fasik pelakunya), maka menurut jumhur diterima, namun dengan dua syarat: (1) tidak sebagai penyeru kepada bid’ahnya, (2) tidak meriwayatkan sesuatu yang melariskan bid’ahnya.
3. Buruk hafalan
Jika rawi buruk hafalan dari awalnya dan seterusnya, maka riwayatnya ditolak.
Tetapi jika buruk hafalan ini muncul baru karena sudah tua, atau matanya buta, atau buku-bukunya terbakar, maka rawi ini disebut mukhtalith (bercampur hafalan). Hukumnya ada perincian:
a. Jika hadits yang disampaikan sebelum hafalannya bercampur, maka riwayatnya diterima.
b. Jika hadits yang disampaikan setelah hafalannya bercampur, maka riwayatnya ditolak.
c. Jika tidak diketahui apakah hadits itu disampaikan sebelum hafalannya bercampur atau setelahnya, maka ditunggu sampai jelas.
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.
[i] Hadits riwayat Ahmad (2/249), Abu Dawud (690), Ibnu Majah (923), Ibnu Khuzaimah (811), Baihaqi (2/271), Ibnu Hibban (2361) dari jalan Sufyan bin ‘Uyaynah dari Isma’il bin Umayyah dari Abu Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dari kakeknya dari Abu Hurairah. Hadits ini juga memiliki jalan-jalan lagi yang lain dalam jumlah banyak yang berbenturan, terlebih Abu Muhammad bin ‘Amr dan kakeknya adalah majhul. Lihat At Talkhishul Habir (1/286), Syarhul Musnad (7386), Nashburraayah (2/80) dan ‘Ilal Ibni Abi Hatim (534). Adapun hadits-hadits yang memerintahkan sutrah, maka ada dari jalan-jalan yang lain yang shahih, lihat Misykaatul Mashaabih (1/241) dan Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal. 72 oleh Syaikh Al Albani.
Yang tidak shahih dari riwayat di atas adalah perintah membuat garis, wallallahu a’lam (lihat At Ta’liqqat Al Atsariyyah oleh Syaikh Ali bin Hasan hal. 62).
[ii] Lihat Fat-hul Mughits bisyarh Alfiyyatil Hadits (1/222) oleh Al Hafizh As Sakhawiy.
[iii] No. 659, Daruquthni (2/125), Thabari (2/57), Darimiy (1/385), Ibnu ‘Addi (4/1328), dan Thabrani dalam Al Kabir (32024). Syarik adalah seorang yang buruk hapalannya, sedangkan Abu Hamzah adalah dha’if.
[iv] No. 1789. Hadits ini juga dha’if seperti sebelumnya, karena sanadnya sama, lihat At Talkhishul Habir 2/160, dan Ithafussaadatil Muttaqiin 4/105.
[v] Lihat ‘Ulumul Hadits hal. 91.