Ikhtishar Ilmu Hadits (5)

بسم الله الرحمن الرحيم
Ikhtishar Ilmu Hadits (5) 1
Ikhtishar Ilmu Hadits (5)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Haditskarya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Hadits Dha’if Yang Disebabkan karena rawinya bermasalah
2.5.11 Munkar, lawannya adalah Ma’ruf
Munkar adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat rawi yang banyak salahnya, banyak lalainya, atau tampak melakukan kefasikan. Ada juga yang mengartikan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dha’if menyelisihi hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah (terpercaya).
Contoh: hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari jalan Habib bin Habib Az Zayyat, dari Abu Ishaq, dari Al ‘Aizar bin Hurayyits, dari Ibnu Abbas, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Barang siapa yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke baitullah, berpuasa Ramadhan, dan menjamu tamu, maka ia akan masuk surga.”
Abu Hatim berkata, “Hadits ini munkar, karena orang yang tsiqah meriwayatkan dari Abu Ishaq secara mauquf, dan inilah hadits ma’ruf.”
Hadits Ma’ruf adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah yang menyelisihi riwayat orang yang dha’if.
Catatan:
Perbedaan antara hadits munkar dengan syadz adalah, bahwa hadits munkar diriwayatkan oleh orang yang dha’if yang menyelisihi orang yang tsiqah, sedangkan syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah menyelisihi orang yang lebih tsiqah.
Contoh hadits Syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nasa’i dan Ibnu Majah dari riwayat Abu Zukair Yahya bin Muhammad bin Qais, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah secara marfu, “Makanlah balh (kurma mentah) dengan kurma kering, karena anak Adam ketika memakannya akan membuat setan marah.”
Nasa’i berkata, “Hadits ini munkar, Abu Zukair menyendiri terhadapnya. Ia adalah seorang syaikh yang saleh. Imam Muslim meriwayatkannya sebagai mutaba’ah (penguat dari jalan yang sama), hanyasaja ia belum mencapai tingkatan yang kesendiriannya bisa dianggap.” 
2.5.12 Mu’allal, yaitu hadits yang zahirnya selamat dari cacat, namun setelah diteliti secara mendalam ada cacatnya.
Biasanya hanya orang-orang tertentu yang dalam ilmunya yang mengetahui ‘lllat (cacat tersembunyi) pada hadits, seperti Ibnul Madini, Bukhari, Abu Hatim, dan Daruquthni.
Illat ini dapat diketahui karena rawi menyendiri dalam meriwayatkan, atau menyelisihi rawi yang lain, atau karena qarinah (tanda) yang lain.
Cara mengetahui illat adalah dengan mengumpulkan semua jalur hadits, melihat perbedaan para perawinya, menimbang antara kuatnya hafalan mereka dan hati-hatinya, lalu menghukumi riwayat yang cacat itu.
Illat ini bisa terjadi pada isnad, seperti keadaannya yang mauquf (sampai pada sahabat) atau mursal (terputus di akhir sanad). Dan bisa juga pada matan, namun sedikit, seperti hadits yang menafikan membaca basmalah sebelum membaca surah Al Fatihah dalam shalat.
Contoh illat pada sanad:
Hadits Ya’la bin Ubaid, dari Ats Tsauri, dari Amr bin Dinar, dari Ibnu Umar secara marfu, “Al Bayyi’aani bil khiyar (artinya: dua orang; penjual dan pembeli berhak khiyar),…dst.”
Terjadi wahm (perkiraan keliru) pada Ya’la bin Ubaid terhadap Sufyan Ats Tsauri ketika mengatakan ‘Amr bin Dinar’ padahal ia adalah Abdullah bin Dinar. Matan hadits tersebut adalah shahih meskipun di isnad ada kekeliruan. Abdullah bin Dinar adalah tsiqah, digantinya orang yang tsiqah dengan orang yang tsiqah tidaklah berpengaruh terhadap keshahihan matan meskipun susunan isnadnya keliru.
2.5.13 Menyelisihi orang-orang yang tsiqah
– Mudraj, yaitu hadits yang diketahui bahwa dalam sanadnya atau matannya ada tambahan atau selipan yang bukan bagian darinya, tetapi merupakan tambahan dari salah satu rawi tanpa diterangkan tentang tambahan itu.
Idraj (selipan tambahan) bisa terjadi pada sanad dan pada matan.
Contoh dalam sanad:
Contoh idraj dalam sanad adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi[i] dari jalan Ibnu Mahdiy dari Ats Tsauriy dari Washil Al Ahdab, Manshur dan Al Amasy dari Abu Wa’il dari Amr bin Syurahbil dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar?” Beliau menjawab, “Yaitu kamu adakan tandingan bagi Allah, padahal Dia telah menciptakanmu…dst.”
Washil tidak menyebutkan ‘Amr bin Syurahbil dalam riwayatnya, ia hanya meriwayatkan dari Abu Wa’il dari Ibnu Mas’ud secara langsung[ii]. Oleh karena itu, disebutkan ‘Amr bin Syurahbil merupakan idraj (selipan) terhadap riwayat Manshur dan Al A’masy.
Sedangkan contoh idraj dalam matan, misalnya:
Hadits Abu Hurairah secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam)[iii],
«لِلْعَبْدِ المَمْلُوكِ الصَّالِحِ أَجْرَانِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلاَ الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالحَجُّ وَبِرُّ أُمِّي، لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَمُوتَ وَأَنَا مَمْلُوكٌ»
Untuk budak yang dimiliki ada dua pahala. Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya. Seandainya tidak ada jihad fii sabilillah, haji dan berbakti kepada ibuku, tentu aku ingin mati dalam keadaan sebagai budak.”
Kata-kata, “Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya…dst.” adalah ucapan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu[iv], karena mustahil perkataan itu muncul dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Beliau tidak mungkin berharap menjadi budak, dan lagi ibunya tidak ada sehingga tidak dapat berbakti[v].
Contoh lainnya idraj dalam matan adalah hadits berikut:
«إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ القِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الوُضُوءِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ»
“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari Kiamat dalam keadaan bercahaya wajah, tangan, dan kaki mereka karena bekas wudhu. Barang siapa yang ingin melebarkan cahayanya, maka lakukanlah.”
Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnahhal. 92 berkata, “Kalimat dalam hadits ‘Barang siapa yang ingin melebarkan cahayanya, maka lakukanlah’ adalah selipan dari salah satu rawinya, dan bukan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana diterangkan lebih dari seorang hafizh, seperti yang dikatakan Al Mundziri dalam At Targhib(1/92). Hadits tersebut menurut mereka dari riwayat Nu’aim bin Mujmir dari Abu Hurairah. Imam Ahmad telah menerangkan dalam riwayatnya (2/334 dan 523) bahwa kalimat itu mudraj (selipan), ia berkata, “Nu’aim berkata, “Aku tidak tahu; apakah kalimat  Barang siapa yang ingin melebarkan cahayanya, maka lakukanlah’ merupakan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam atau perkataan Abu Hurairah?”
Al Hafizh dalam Al Fath-h berkata, “Aku tidak melihat kalimat ini dalam riwayat seorang pun sahabat yang meriwayatkan hadits ini yang jumlahnya sepuluh orang, demikian pula tidak melihat dari orang-orang yang meriwayatkan dari Abu Hurairah selain riwayat Nu’aim ini.”
Contoh idraj lainnya dalam matan seperti penyebutan secara panjang lebar Asma’ul Husna setelah disebutkan bahwa Allah memiliki 99 nama, dan barang siapa yang menghafalnya, maka ia akan masuk surga (Hr. Tirmidzi no. 3507). Para hafizh dari kalangan Ahli Hadits berpendapat, tambahan ini adalah pengumpulan yang dilakukan oleh Al Walid bin Muslim dari guru-gurunya dari kalangan Ahli Hadits, wallahu a’lam.
– Maqlub, yaitu hadits yang terbalik, baik pada sanad maupun matan.
Contoh maqlub dalam sanad adalah hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin Murrah, lalu rawi terbalik sehingga mengatakan dari Murrah bin Ka’ab.
Contoh lainnya hadits yang diriwayatkan oleh Hammad bin Amr An Nashibiy, dari Al A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah secara marfu, “Apabila kalian menjumpai orang-orang musyrik di jalan, maka jangan awali mereka dengan salam.”
Hadits ini maqlub, Hammad membaliknya, ia jadikan dari Al A’masy, yang terkenal adalah dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.
Sedangkan Contoh maqlub dalam matan hadits adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang tujuh golongan orang yang mendapatkan naungan Allah di bawah naungan ‘Arsyi-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, di sana disebutkan:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ يَمِيْنُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ
“Dan seorang yang yang menyedekahkan suatu sedekah, lalu ia sembunyikan sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kirinya.”
Hal ini termasuk maqlub yang terjadi oleh sebagian rawi, karena yang sahih adalah,
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
“Dan seorang yang yang menyedekahkan suatu sedekah, lalu ia sembunyikan sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.”
Maqlub juga bisa berupa mengganti isnad suatu hadits dengan isnad yang lain dengan maksud menguji. Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh para ulama Baghdad terhadap Imam Bukhari rahimahullah, ketika mereka merubah seratus hadits kepadanya dan mereka bertanya tentangnya untuk menguji hapalannya, lalu ia mengembalikkannya seperti ketika sebelum diganti dan tidak keliru pada salah satunya. Hal ini menunjukkan kuatnya hapalan Imam Bukhari, teliti, dan dalamnya pandangan beliau.
– Mazid fi Muttsahilil Asanid, artinya tambahan rawi di sela-sela sanad yang zahirnya bersambung.
Contoh:
Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdurrahman bin Yazid, telah menceritakan kepadaku Busr bin Ubaidillah, ia berkata, “Aku mendengar Abu Idris berkata, “Aku mendengar Watsilah berkata, “Aku mendengar Abu Martsad berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا تَجْلِسُوا عَلَى القُبُورِ، وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا»
“Janganlah duduk di atas kubur dan jangan shalat menghadapnya.” (Matan hadits ada dalam Shahih Muslim no. 972, Abu Dawud no. 3229, dan Tirmidzi no. 1050)
Tambahan dalam isnad di atas ada pada dua tempat: (1) pada lafaz ‘Sufyan’, (2) pada lafaz Abu Idris.
Sebab adanya tambahan ini adalah karena wahm (perkiraan keliru). Tambahan ‘Sufyan’ merupakan wahm dari orang-orang yang berada di bawah Ibnul Mubarak, karena sejumlah orang yang tsiqah meriwayatkan hadits dari Ibnul Mubarak  dari Abdurrahman bin Yazid, dan di antara mereka ada yang menegaskan kata ‘telah mengabarkan kepada kami’ padanya (Ibnul Mubarak). Sedangkan tambahan ‘Abu Idris’ adalah wahm dari Ibnul Mubarak karena sejumlah orang tsiqah meriwayatkan hadits dari Abdurrahman bin Yazid tanpa menyebutkan Abu Idris, dan di antara mereka ada yang menegaskan tentang ‘mendengarnya’ Busr bin Ubaidillah dari Watsilah (Lihat Sunan Abu Dawudno. 3229).
Syarat ditolaknya tambahan:
Untuk ditolaknya tambahan rawi dan dianggap sebagai wahm ada dua syarat:
1. Orang yang tidak menambahnya harus lebih mutqin (kuat hafalan dan hati-hati) daripada orang yang menambahkannya.
2. Terjadi penegasan kata ‘mendengar’ pada tempat terjadinya penambahan.
Jika kedua syarat ini tidak ada atau salah satunya, maka menjadi kuatlah tambahan itu dan diterima, sedangkan isnad yang kosong dari tambahan itu dianggap terputus. Akan tetapi terputusnya tersembunyi, sehingga disebutlah Mursal Khafi.
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa

Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.



[i] No. 3182. Demikian pula diriwayatkan oleh Bukhari (7520) dari jalan Al A’masy, dan pada no. 6001 dari jalan Manshur. Muslim (86/141 dan 142) juga meriwayatkan dari jalan Manshur dan Al A’masy.
[ii] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya (4761) –dan bandingkanlah dengan yang disebutkan dalam Tuhfatul Asyraf (9311)-, Tirmidzi (3183), Nasa’i (4014) dari jalan Washil dari Abu Wa’il dari Ibnu Mas’ud.
[iii] Imam Bukhari (2548) meriwayatkan asalnya, dan Muslim (1665).
[iv] Sebagaimana dalam riwayat Ahmad (2/330) dan Bukhari dalam Al Adabul Mufrad (32).
[v] Lihat Fat-hul Bari (5/176), Ash Shahiihah (2/565) dan Tadriburraawi(1/227).