Ikhtishar Ilmu Hadits (3)

بسم الله الرحمن الرحيم
Ikhtishar Ilmu Hadits (3) 1
Ikhtishar Ilmu Hadits (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Haditskarya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Hadits Mardud
2.5 Mardud (ditolak)
Hadits yang mardud adalah hadits yang dha’if (lemah) dengan beragam macamnya.
Yang Disebabkan karena terputus sanad
Hadits yang mardud yang disebabkan karena terputus sanad adalah seperti yang disebutkan di bawah ini:
2.5.1. Mu’allaq, yaitu hadits yang dihilangkan seorang rawi atau lebih dari awal sanad secara berurutan. Contoh:
Imam Bukhari berkata,
وَقَالَ أَبُو مُوسَى: «غَطَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُكْبَتَيْهِ حِينَ دَخَلَ عُثْمَانُ»
“Abu Musa berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam menutup kedua lututnya saat Utsman masuk.”
Di sini Imam Bukhari menghilangkan sanadnya selain sahabat, yaitu Abu Musa Al Asy’ari. Hadits mu’allaq termasuk hadits mardud (ditolak) kecuali jika dimaushulkan (disebutkan sanadnya) sehingga bersambung sanadnya dan terpenuhi syarat-syarat hadits maqbul (shahih atau hasan) lainnya.
Catatan:
Hadits mu’allaq dalam Shahih Bukhari dan Muslim jika menggunakan shighat (bentuk) jazm (menunjukkan keshahihan) seperti kata ‘  قَالَ  ’ (artinya: ia berkata) , ‘   ذَكَرَ  ’ (artinya: ia menyebutkan) atau ‘  حَكَى  ’ (artinya: ia menceritakan) maka dihukumi shahih.  Tetapi jika menggunakan shighat tamridh (menunjukkan ada cacat) seperti ‘  قِيْلَ  ’ (artinya: dikatakan) , ‘   ذُكِرَ  ’ (artinya: disebutkan) atau ‘  حُكِيَ  ’ (artinya: diceritakan) maka di dalamnya ada yang shahih, hasan, atau dha’if.
2.5.2 Mursal, yaitu hadits yang terputus di akhir sanad atau tabiin meriwayatkan langsung dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tanpa perantaraan sahabat. Contoh: Imam Muslim berkata,
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ، حَدَّثَنَا حُجَيْنُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْمُزَابَنَةِ وَالْمُحَاقَلَةِ»
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi, telah menceritakan kepada kami Hujain bin Al Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Al Laits, dari Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin Al Musayyib, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli Muzabanah dan Muhaqalah[i].
Di sini Sa’id bin Musayyib seorang tabiin besar meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tanpa perantaraan sahabat.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, bahwa hadits mursal adalah mardud (tertolak), namun Imam Syafi’i dan sebagian Ahli Ilmu menerimanya namun dengan 4 syarat; tiga syarat pada rawi yang memursalkan, sedangkan satu pada hadits mursal.
Tiga syarat pada rawi yang memursalkan adalah: (1) orang yang memursalkan adalah tabiin besar, (2) orang yang memursalkan adalah orang yang biasa meriwayatkan dari orang yang tsiqah, (3) para hafizh yang terpercaya juga menyatakan demikian dan tidak menyelisihi.
Sedangkan satu syarat lagi pada hadits mursal, yaitu salah satu di antara empat syarat ini: (1) hadits tersebut diriwayatkan secara bersanad dari jalan yang lain, (2) diriwayatkan dari jalan yang lain secara mursal yang dilakukan oleh orang yang mengambil ilmu dari selain rawi-rawi hadits mursal sebelumnya, (3) sesuai dengan pendapat sahabat, atau (4) sesuai fatwa mayoritas Ahli Ilmu.
Intinya, mursal tabi’in besar menurut kebanyakan ahli ilmu diterima, jika dibantu hadits mursal yang lain, atau amalan sahabat,atau qiyas.
Catatan:
Mursal Shahabiy adalah hadits yang disampaikan seorang sahabat namun ia tidak mendengar atau menyaksikan langsung dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetapi melalaui sahabat lain yang mendengar atau menyaksikannya meskipun tidak disebutkan nama sahabat yang diambil riwayatnya itu. Mursal Sahabi bisa disebabkan  karena ia masih kecil, atau terlambat masuk Islamnya, atau karena sedang tidak hadir.  Hukumnya adalah shahih dan bisa dipakai hujjah.
2.5.3 Mu’dhal, yaitu hadits yang dalam sanadnya ada dua orang rawi yang gugur secara berturut-turut. Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dalam Ma’rifatu Ulumil hadits dengan sanadnya yang sampai kepada Al Qa’nabiy dari Malik, bahwa sampai berita kepadanya, bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ. وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا يُطِيقُ
“Budak berhak mendapatkan makanan dan pakaian secara ma’ruf (wajar), dan tidak dibebani dengan pekerjaan kecuali yang mampu dilakukannya.”
Hakim berkata, “Ini mu’dhal dari Malik, dimana beliau melakukan hal ini dalam Muwaththa, karena ada dua orang rawi secara berurutan yang gugur antara Malik dan Abu Hurairah, dan kita mengetahui ada dua orang rawi yang tidak disebutkan secara berurutan dari riwayat hadits di kitab lain selain Muwaththa, yaitu dari Malik, dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.”
2.5.4 Munqathi, yaitu hadits yang terputus dalam sanadnya. Menurut Ahli Hadits mutakhirin, ia di luar mu’allaq (terputus di awal sanad), mursal (terputus di akhir sanad), dan mu’dhal (terputus dua rawi secara berurutan). Contoh: hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ats Tsauri, dari Abu Ishaq, dari Zaid bin Yutsai’, dari Hudzaifah secara marfu,
«إِنْ وَلَّيْتُمُوهَا أَبَا بَكْرٍ فَزَاهِدٌ فِي الدُّنْيَا، رَاغِبٌ فِي الْآخِرَةِ، وَفِي جِسْمِهِ ضَعْفٌ، وَإِنْ وَلَّيْتُمُوهَا عُمَرُ فَقِوِيُّ أَمِينٌ، لَا يَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ، وَإِنْ وَلَّيْتُمُوهَا عَلِيًّا فَهَادٍ مُهْتَدٍ، يُقِيمُكُمْ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ»
“Jika kalian menyerahkan urusan itu kepada Abu Bakar, maka ia adalah orang yang zuhud terhadap dunia, cinta akhirat, dan badannya lemah. Jika kalian menyerahkan kepada Umar, maka dia seorang yang kuat dan amanah; tidak takut celaan orang yang mencela dalam menjalankan perintah Allah, dan jika kalian serahkan kepada Ali, maka dia adalah seorang yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk, ia akan menegakkan kalian di atas jalan yang lurus.” (Hr. Hakim)
Dalam sanad ini ada rawi yang gugur antara Ats Tsauri dan Abu Ishaq, yaitu Syarik. Hal itu, karena Ats Tsauri tidak mendengar langsung dari Abu Ishaq, tetapi mendengar dari Syarik.
2.5.5 Mudallas, yaitu hadits yang disembunyikan aib dalam sanadnya dan ditampakkan bagus di luarnya. Perbuatannya disebut tadlis.
Macam-macam tadlis:
  1. Tadlis Taswiyah.
Tadlis Taswiyah adalah periwayatan oleh rawi dari gurunya lalu digugurkan seorang rawi yang dha’if antara dua orang tsiqah yang satu bertemu dengan yang lain. Gambarannya adalah seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari seorang syaikh yang tsiqah, syaikh ini meriwayatkan dari orang yang dha’if, lalu dari orang yang tsiqah, kemudian orang yang melakukan tadlis (mudallis) yang mendengar dari orang yang tsiqah pertama menggugurkan orang yang dha’if, dan langsung menyebutkan dari orang yang tsiqah setelahnya dengan lafaz yang mengandung kemungkinan, sehingga ia ratakan (taswiyah) isnadnya semuanya orang-orang yang tsuqah.
Orang yang paling masyhur melakukan tadlis ini adalah Baqiyyah bin Al Walid.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim (‘Ilalul Hadits 2/155) ia berkata: Aku mendengar bapakku –ia sebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahawaih dari Baqiyyah- : Telah menceritakan kepadaku Abu Wahb Al Asdiy dari Nafi’ dari Ibnu Umar sebuah hadits yang berbunyi,
لاَ تَحْمَدُوا إِسْلاَمَ امْرِئٍ حَتَّى تَعْرِفُوْا عُقْدَةَ رَأْيِهِ
Janganlah kamu puji keislaman seseorang sampai kamu mengetahui bagusnya pendapatnya.
Bapakku (Abu Hatim) berkata, “Hadits ini ada masalah yang sedikit orang memahaminya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidullah bin ‘Amr –ia adalah tsiqah- dari Ishaq bin Abi Farwah –ia adalah dha’if- dari Nafi’ –ia adalah tsiqah- dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ubaidulllahbin ‘Amr kunyahnya adalah Abu Wahb, yakni Asadiy, lalu Baqiyyah menyebutnya dengan kunyah(panggilan)nya dan menisbatkannya kepada Bani Asad agar tidak disadari, sehingga ketika Ishaq bin Abi Farwah telah ditinggalkan, maka tidak ada yang tahu…dst[ii].”
  1. Tadlis Isnad
Tadlis Isnad adalah seorang rawi meriwayatkan dari orang yang mendengar sebuah hadits, namun rawi ini tidak mendengarnya darinya tanpa menyebutkan bahwa ia mendengarnya secara tegas, yakni hanya menyebutkan dengan lafaz yang kesannya mendengarkan, seperti kata ‘An” (dari), “Anna” (bahwa) atau “Qaala” (ia berkata)…dst.”
Gambarannya adalah seorang rawi meriwayatkan dari seorang syaikh yang ia dengar darinya beberapa hadits, akan tetapi hadits yang ditadliskannya tidak ia dengar darinya, tetapi ia mendengarnya dari syaikh lain, lalu ia gugurkan syaikh itu dan meriwayatkan darinya dengan kata-kata yang mengandung kemungkinan mendengar seperti ‘ia berkata’ atau ‘dari’ untuk memberikan kesan bahwa ia mendengar darinya dan tidak menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar hadits itu daripadanya, ia tidak mengatakan ‘aku mendengar’ atau ‘telah menceritakan kepadaku’ agar tidak dianggap pendusta, dan rawi yang digugurkannya bisa seorang atau lebih.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nasa’i dalam ‘Amalul Yaumi Wal Lailah hal. 431 dengan sanadnya dari dua jalan dari Abuz Zubair dari Jabir ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap malam tidak tidur sampai membaca surat Tanzil As Sajdah dan Tabarakalladzii biyadihil mulk…dst.
Lalu ia (Nasa’i) meriwayatkan setelahnya dengan sanadnya yang sampai kepada Zuhair bin Mu’awiyah, bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Abuz Zubair, “Apakah engkau mendengar Jabir menyebutkan bahwa Nabiyyullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tidur sampai membaca Alif Laam Miim Tanzil (As Sajdah) dan Tabaarak (Al Mulk)?” Ia menjawab, “Jabir tidak menceritakannya kepadaku, tetapi yang menceritakannya kepadaku adalah Shafwan atau Abu Shafwan.”
Ini adalah contoh Abuz Zubair melakukan tadlis, ia gugurkan perantara mendengarnya hadits ini dari Jabir.
  1. Tadlis Syuyukh
Tadlis Syuyukh adalah seorang rawi meriwayatkan dari seorang guru sebuah hadits yang ia dengar darinya, lalu rawi itu menamai gurunya itu atau menyebut kunyahnya atau menyifatinya dengan sifat yang tidak dikenal agar tidak diketahui dan disadari oleh orang lain.
Contohnya adalah ucapan Abu Bakar bin Mujahid –salah satu imam qari’-: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abi Abdillah…dst, maksudnya adalah Abu Bakar bin Abi Dawud As Sijistaniy, perbuatannya ini memutuskan jalan bagi pendengar untuk mengetahuinya dan menjadikannya sukar diketahui.
Para mudallis (pelaku tadlis) itu banyak jumlahnya, di antara mereka ada yang dha’if dan ada yang tsiqah (terpercaya), seperti Al Hasan Al Bashri, Humaid Ath Thawil, Sulaiman bin Mihraan Al A’masy, Muhammad bin Ishaq, dan Al Walid bin Muslim.
Al Hafizh membagi tingkatan mereka hingga kepada lima tingkatan:
Pertama, orang yang tidak disifati begitu (berbuat tadlis) kecuali sangat jarang, seperti Yahya bin Sa’id.
Kedua, orang yang masih dibawa tadlisnya oleh para imam dan mereka menyebutkannya dalam kitab shahih karena keimamannya dan sedikit tadlisnya dalam meriwayatkan, seperti Sufyan Ats Tsauri atau biasanya ia tidak melakukan tadlis kecuali dari orang yang tsiqah, seperti Sufyan bin Uyaynah.
Ketiga, orang yang banyak melakukan tadlis tidak hanya mengambil dari orang tsiqah saja, seperti Abuz Zubair Al Makkiy.
Keempat, orang yang banyak melakukan tadlis dari orang-orang yang dha’if dan majhul (tidak dikenal), seperti Baqiyyah bin Al Walid.
Kelima, orang yang ditambah kelemahannyakarena sebab lain, seperti Abdullah bin Lahii’ah.
Hadits mudallas ini tidak diterima kecuali jika ia seorang yang tsiqah dan menyebutkan secara tegas bahwa ia mengambil langsung dari orang yang diambil riwayatnya. Misalnya ia berkata, “Aku mendengar si fulan berkata:” atau “aku melihat si fulan berbuat” atau “telah menceritakan kepadaku” dsb. Akan tetapi hadits yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim dengan shighat tadlis dari orang-orang mudallis yang tsiqah adalah diterima, karena umat menerima keduanya tanpa adanya perincian.
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa

Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.



[i] Muzabanah artinya menjual sesuatu yang tidak diketahui ukurannya dengan sesuatu yang diketahui ukurannya. Misalnya seseorang menjual anggur yang masih di pohonnya secara perkiraan dengan anggur kering yang sudah ditakar, atau misalnya seseorang menjual kurma yang masih di pohonnya secara perkiraan dengan kurma kering yang ditakar. Dikecualikan dari hal ini adalah jual beli ‘Araaya yang gambarannya adalah sebagai berikut: Seorang miskin dihibahkan pohon kurma yang tidak lebih dari 5 wasq buah kurmanya (1 wasq= 60 sha’, 1 sha’= 4 mud, 1 mud adalah satu kaupan kedua tangan orang dewasa (kurang lebih 510 gram), sehingga 60 wasq adalah 612 kg), ia (orang miskin yang tidak memiliki uang untuk membeli kurma kering) tidak mampu menunggu lama, akhirnya ia jual kurma basah yang masih di pohonnya itu secara perkiraan untuk mendapatkan kurma kering. Misalnya si miskin mengatakan, “Kurma-kurma yang ada di pohon ini jika sudah kering kira-kira beratnya 3 wasq,” lalu ia jual kurmanya untuk mendapatkan kurma kering sejumlah tiga wasq, maka si miskin mendapatkan kurma kering sedangkan si penerima mendapat kurma basah yang masih ada di pohon. Dan disyaratkan adanya taqaabudh (serah terima sebelum berpisah dari tempat transaksi).
Sedangkan Muhaqalahadalah jual beli buah yang masih di tangkai dengan makanan yang diketahui (ukurannya), atau menjual biji tanaman (secara borongan) dengan gandum sejumlah sekian.
[ii] At Taqyid wal Idhah(78) dan At Tadrib (1/225).