Ikhtishar Ilmu Hadits (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Ikhtishar Ilmu Hadits (2) 1
Ikhtishar Ilmu Hadits (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Haditskarya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin. 
Hadits Maqbul
2.4.2. Hasan Lidzatihi, yaitu hadits yang sanadnya bersambung, dinukilkan oleh orang yang adil, namun kurang kuat hafalannya dan seterusnya seperti itu tanpa ada syadz dan illat. Tidak ada perbedaaan antara hasan lidzaatihi dengan shahih lidzaatihi kecuali karena kurang sempurnanya dhabth pada hadits hasan berbeda dengan shahih lidzaatihi.
Contoh: Imam Tirmidzi berkata,
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيُّ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الجَوْنِيِّ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، قَال: سَمِعْتُ أَبِي، بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَبْوَابَ الجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ» ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ رَثُّ الهَيْئَةِ: أَأَنْتَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَرَجَعَ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَقَالَ: أَقْرَأُ عَلَيْكُمُ السَّلَامَ، وَكَسَرَ جَفْنَ سَيْفِهِ، فَضَرَبَ بِهِ حَتَّى قُتِلَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ جَعْفَرِ بْنِ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيِّ. وَأَبُو عِمْرَانَ الجَوْنِيُّ: اسْمُهُ عَبْدُ المَلِكِ بْنُ حَبِيبٍ. وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي مُوسَى، قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: «هُوَ اسْمُهُ»
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Sulaiman Adh Dhabu’iy, dari Abu Imran Al Jauni, dari Abu Bakar bin Abi Musa Al Asy’ari ia berlata, “Aku mendengar ayahku berkata di hadapan musuh, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga di bawah naungan pedang.” Maka salah seorang yang hadir yang bernampilan lusuh berkata, “Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?” Bapakku menjawab, “Ya.” Maka ia kembali kepada kawan-kawannya dan berkata, “Aku sampaikan salam kepada kalian,” ia pun mematahkan sarung pedangnya kemudian berperang dengan pedang itu hingga terbunuh.”
Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Ja’far bin Sulaiman adh Dhabu’i. Abu Imran Al Jauni, namanya adalah Abdul Malik bin Habib. Sedangkan Abu Bakar bin Abu Musa, menurut Ahmad bin Hanbal itulah namanya.”
Para perawi di atas semuanya tsiqah selain Ja’far bin Sulaiman, maka ia seorang yang shaduq (sangat jujur), sehingga derajat hadits ini adalah hasan.
Catatan:
Maksud Tirmidzi ‘Hadits Hasan shahih’ bisa maksudnya, bahwa hadits tersebut memiliki dua sanad, dimana yang satu hasan, dan yang satu lagi shahih. Tetapi jika terdiri dari satu sanad, maka bisa maksudnya hasan menurut sebagian ulama, dan shahih menurut ulama yang lain.
2.4.3. Shahih Lighairihi, yaitu hadits hasan lidzatihi ketika diriwayatkan dari jalur yang lain yang semisalnya atau yang lebih kuat daripadanya. Disebut ‘lighairih’ adalah karena keshahihannya bukan karena sanadnya, akan tetapi ketika dikumpulkan sanad yang lain bersamanya. Hadits shahih lighairihi lebih tinggi daripada hasan lidzatihi, namun di bawah shahih lidzatihi.
Contoh: Imam Tirmidzi berkata,
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ»
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kalau bukan karena aku tidak ingin memberatkan umatku, tentu aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.”
Ibnu Shalah berkata, “Muhammad bin Amr bin Alqamah termasuk orang yang terkenal kejujuran dan amanahnya, akan tetapi ia tidak termasuk orang yang mutqin sehingga sebagian ulama mendhaifkannya karena buruk hafalannya, sedangkan yang lain mentsiqahkannya karena kejujuran dan kemuliaannya. Oleh karena itu, hadits ini karena sebab ini adalah hasan. Tetapi ketika digabungkan dengan riwayat lain dari jalur yang berbeda, maka hilanglah apa yang kita khawatirkan karena buruknya hafalan, dan kekurangan yang ringan ini tertutupi, sehingga isnad ini menjadi shahih, serta naik ke derajat shahih.”
2.4.4. Hasan Lighairihi, yaitu hadits dha’if yang memiliki jalur yang banyak, dimana sebab kedhaifannya bukan karena fasiknya perawi atau pendusta. Hal itu karena hadits dha’if bisa naik ke derajat hasan lighairih karena dua sebab: (1) diriwayatkan dari jalur yang lain atau banyak jalurnya, dimana jalur yang lain itu sama atau lebih kuat daripadanya, (2) sebab dhaifnya hadits karena buruk hafalan perawinya, atau terputus sanadnya, atau karena majhulnya di antara para perawinya.
Ibnu Shalah berkata, “Tidak semua kedhaifan dalam sebuah hadits itu hilang karena diriwayatkan dari jalur yang lain, bahkan keadaannya berbeda-beda; Ada kedhaifan yang bisa hilang, yaitu ketika sebabnya adalah karena kelemahan hafalan rawi padahal dia seorang yang jujur dan baik agamanya. Jika kita melihat haditsnya diriwayatkan pula dari jalur yang lain, maka dapat kita ketahui bahwa hadits itu memang yang dihafalnya, dan tidak salah ingatannya terhadap hadits itu. Demikian pula jika kedhaifannya disebabkan karena mursal (terputus di akhir sanad), maka bisa hilang pula kedhaifannya, seperti  mursal yang dilakukan oleh seorang imam yang hafizh, karena di dalamnya ada kedhaifan yang ringan. Hal ini bisa hilang karena ada riwayat dari jalur yang lain. Namun ada juga yang dhaif yang tidak hilang karena hal tersebut disebabkan kedhaifannya begitu kuat, sehingga tidak bisa ditutupi, seperti kedhaifan dari rawi yang tertuduh dusta atau hadits tersebut syadz.” (Muqaddimah Ibnish Shalah hal. 20)
Al Hafizh berkata, “Banyaknya jalur ketika sumbernya berbeda menjadikan matan bertambah kuat.” (Al Qaulul Musaddad fidz Dzab An Musnadil Imam Ahmadhal. 38)
Contoh hadits hasan lighairih:
قال ابن حبان : أَخْبَرَنَا أَبُو يَعْلَى قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ قَالَ : حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ فِطْرٍ عَنْ شُرَحْبِيلَ بْنِ سَعْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ –رضي الله عنها- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ : مَا مِنْ مُسْلِمٍ لَهُ ابْنَتَانِ ، فَيُحْسِنُ إِلَيْهِمَا مَا صَحِبَتَاهُ ، أَوْ صَحِبَهُمَا إِلَّا أَدْخَلَتَاهُ الْجَنَّةَ
Ibnu Hibban berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Fitr, dari Syurahbil bin Sa’ad, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “TIdak ada seorang muslim yang memiliki dua putri, lalu ia bersikap baik kepada keduanya melainkan hal itu akan membuatnya masuk surga.”
Hadits ini isnadnya dha’if karena kedhaifan Syurahbil bin Sa’ad, dimana terhadapnya Al Hafizh berkata, “Syurahbil bin Sa’ad Abu Sa’ad Al Madani adalah maula (budak yang dimerdekakan) oleh orang-orang Anshar, ia seorang yang sangat jujur namun bercampur hafalan di akhir hidupnya.”
Akan tetapi hadits ini hasan karena syahid-syahidnya (penguat dari jalan lain), dimana Ibnu Majah no. 3670, Abu Ya’la no. 2571 dan 2742, Thabrani no. 10836, dan Hakim 4/178 meriwayatkan dari beberapa jalan dari Fithr dengan isnad tersebut.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya (2457) ia berkata,
حدثنا وهب بن بقية حدثنا خالد عن حسين عن عكرمة عن ابن عباس –رضي الله عنهما- أن النبي قال : … وَمَنْ عَالَ ثَلاَثَ بَنَاتٍ فَأَنْفَقَ عَلَيْهِنَّ وَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ . فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْأَعْرَابِ فَقَالَ : أَوِ اثْنَتَيْنِ ؟ قَالَ : نَعَمْ . حَتَّى لَوْ قَالَ : وَاحِدَةً لَقَالَ : نَعَمْ … .
“Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:….Barang siapa yang menanggung tiga putri, menafkahi mereka, dan bersikap baik kepada mereka, maka ia berhak masuk surga.” Lalu ada salah seorang Arab badui yang berdiri dan berkata, “Bagaimana kalau dua?” Beliau bersabda, “Ya (dua juga).” Bahkan kalau orang itu berkata, “Kalau satu bagaimana?” Tentu Beliau akan mengatakan ‘Ya’ pula.”
Isnad ini dhaif karena kelemahan Husain bin  Qais. Al Baghawi (Syarhus Sunnah 13/5) setelah menyebutkan hadits ini berkata, “Husain bin Ali Abu Ali Ar Rahbiy, laqab(gelar)nya Hanasy, didhaifkan oleh Ahli Hadits. Ia memiliki naskah yang diriwayatkannya dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, namun kebanyakan terbalik.”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad no. 11.384 ia berkata:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّا عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مُكْمِلٍ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ بَشِيرٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ –رضي الله عنه-  قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ : لَا يَكُونُ لِأَحَدٍ ثَلَاثُ بَنَاتٍ ، أَوْ ثَلَاثُ أَخَوَاتٍ ، أَوْ ابْنَتَانِ ، أَوْ أُخْتَانِ، فَيَتَّقِي اللهَ فِيهِنَّ وَيُحْسِنُ إِلَيْهِنَّ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ  .
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shabbah, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Zakariyya, dari Suhail, dari Sa’id bin Abdurrahman bin Mukmil, dari Ayyub bin Basyir Al Anshariy, dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang memiliki tiga putri atau tiga saudari, dua putri atau dua saudari, lalu ia bertakwa kepada Allah dalam mengurus mereka dan bersikap baik terhadap mereka melainkan ia akan masuk surga.”
Isnad ini dhaif karena majhulnya Sa’id bin Abdurrahman bin Mukmil; dua orang meriwayatkan darinya, dan tidak ada yang mentsiqahkannya selain Ibnu Hibban.
Catatan:
hadits yang dha’if akan naik kepada hasan lighairihi jika banyak jalan-jalannya dan sebab kedha’ifannya adalah karena buruknya hapalan si perawi dsb. Adapun jika sebab dha’ifnya dikarenakan fasiknya si perawi atau tertuduh dusta, lalu ada lagi hadits dari jalan lain, namun sama keadaannya, maka hadits tersebut tidak naik menjadi hasan, bahkan hanya bertambah dha’if.
Dilihat dari diamalkan atau tidaknya
Hadits yang maqbul (diterima) dilihat dari diamalkan atau tidaknya ada dua: yang diamalkan dan yang tidak diamalkan.
2.4.5. Diamalkan
Yang diamalkan seperti hadits yang menasakh (menghapus) hadits yang datang sebelumnya. Misalnya hadits yang melarang nikah mut’ah, hadits yang membolehkan ziarah kubur, hadits yang menyatakan tidak batalnya puasa orang yang berbekam (menurut sebagian ulama), dan hadits yang menyatakan batalnya wudhu orang yang menyentuh kemaluan (menurut sebagian ulama), wallahu a’lam.
2.4.6. Tidak diamalkan
Yang tidak diamalkan seperti hadits yang dimansukh (dihapus) oleh hadits yang datang setelahnya. Seperti tentang kebolehan nikah mut’ah yang sudah dimansukh, kehalalan daging keledai negeri, hadits yang memerintahkan hukum mati bagi peminum arak untuk keempat kalinya setelah dihukum cambuk, hadits yang menerangkan batalnya puasa orang yang membekam dan yang dibekam (menurut sebagian ulama), dan hadits yang menyatakan tidak batal memegang kemaluan tanpa penghalang seusai wudhu (menurut sebagian ulama). Wallahu a’lam.
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.