Fiqh Mengusap Khuffain

بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Mengusap 2 Khuffain
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Sesungguhnya agama kita “Islam” adalah agama yang mudah, bukan agama yang sulit lagi menyulitkan, di antara buktinya adalah ketika berwudhu’ apabila pada anggota wudhu’ ada penghalang yang terasa berat dilepaskan seperti sepatu, sorban, balutan (pembalut bagian yang sakit) dan jabiirah (bebatan)[1], maka Islam hanya menyuruh mengusapnya saja tanpa perlu melepaskan. Berikut ini penjelasan lebih lanjutnya, semoga Allah Subhaanahu wa Ta’aala menjadikannya bermanfaat, Allahumma aamiin.
I.           Pengertian Khuff dan disyari’atkannya mengusap khuf.
Khuff artinya sesuatu yang dipakai di kaki yang terbuat dari kulit atau lainnya. Bentuk jama’nya adalah khifaf. Termasuk ke dalam khuf juga semua yang dipakaikan di kaki yang terbuat dari wool atau lainnya (Al Fiqhul Muyassar hal. 24).
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (3/164) berkata, “Telah sepakat para ulama yang dipandang ijma’nya tentang bolehnya mengusap khuffain (2 sepatu) baik ketika safar maupun tidak, baik karena keperluan maupun selainnya, bahkan boleh bagi wanita yang senantiasa di rumah dan orang yang sakit menahun yang tidak bisa berjalan. Yang mengingkarinya hanyalah orang-orang Syi’ah dan Khawarij, dan penyelisihan mreka tidaklah dipandang. Al Hasan Al Basri rahimahullahberkata, “Telah menceritakan kepadaku tujuh puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap dua khuf.”
Di antara dalil bolehnya mengusap khuf adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Al A’masy dari Ibrahim dari Hammam ia berkata:
بَالَ جَرِيرٌ ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَقِيلَ تَفْعَلُ هَذَا فَقَالَ نَعَمْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْه
Jarir pernah buang air kecil, lalu berwudhu’ dan mengusap kedua khufnya, lalu ada yang berkata, “(Apakah) engkau melakukan hal ini?” Ia menjawab, “Ya, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil, kemudian berwudhu dan mengusap dua khufnya.”
Al A’masy berkata: Ibrahim berkata, “Hadits ini membuat mereka aneh karena masuk Islamnya Jarir setelah turun surah Al Maa’idah.”
Imam Nawawi berkata, “Maksudnya, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman di surah Al Maa’idah, “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Terj. Al Ma’idah: 6) Kalau sekiranya masuk Islamnya Jarir lebih dulu daripada turunnya surah Al Ma’idah, tentu mengandung kemungkinan bahwa haditsnya tentang mengusap mengusap khuf adalah mansukh dengan ayat di surah Al Ma’idah. Oleh karena masuk Islamnya terakhir, maka dapat kita ketahui bahwa haditsnya ini diamalkan, di sana diterangkan bahwa maksud ayat tersebut tidaklah tertuju kepada pemakai khuf, sehingga As Sunnah menjadi pentakhshis ayat, wallahu a’lam.”
Imam Ahmad berkata, “Tidak ada (keraguan) dalam hatiku terhadap (kebolehan) mengusap (dua khuf), di sana terdapat empat puluh hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Demikian pula diperbolehkan mengusap jaurab (kaus kaki) karena ia seperti khuf dalam hal butuhnya seseorang kepadanya, ‘illatnya sama, bahkan memakai kaus kaki lebih sering dilakukan daripada khuf, sehingga boleh mengusapnya jika memang menutupi (Al Fiqhul Muyassar hal. 24).
II.         Syarat mengusap dua khuf dan semisalnya
Syarat-syaratnya adalah:
1.  Memakai khuf dalam keadaan suci dari hadats kecil dan hadats besar. Hal ini berdasarkan hadits Mughirah ia berkata: Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar, lalu aku menunduk untuk melepas kedua khufnya, maka Beliau bersabda:
دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
“Biarkanlah keduanya, karena aku memakainya dalam keadaan suci.” Maka Beliau mengusap ke atasnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
2.  Menutupi bagian yang wajib, yakni bagian kaki yang wajib dibasuh (dalam wudhu’). Oleh karena itu, jika ada bagian kaki yang tidak tertutup, maka tidak sah mengusapnya. Seperti sepatunya tidak menutupi kedua tumit, atau bolong yang lebar yang membuat kelihatan bagian kaki yang wajib dibasuh.
3.  Boleh dipakainya khuf tersebut. Oleh karena itu, tidak boleh mengusap khuf hasil dari merampas atau mencuri serta yang terbuat dari sutera, karena memakainya merupakan kemaksiatan dan harus dilepas.
4.  Sucinya kedua khuf itu.
5.  Mengusap dilakukan pada waktu yang ditetapkan, yaitu bagi yang mukim sehari-semalam (24 jam), sedangkan bagi musafir tiga hari tiga malam. Dimulainya dari sejak ia mengusap khuffnya (berdasarkan zhahirnya hadits dan riwayat dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu).
Hal ini berdasarkan hadits Ali radhiyallahu ‘anhu:
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tiga hari tiga malam untuk musafir, dan sehari-semalam untuk yang mukim.” (HR. Muslim)
III.       Cara Mengusap kedua khuf
Mengusap kedua khuff dilakukan setelah kita membasuh anggota wudlu secara tertib, setelah semuanya dibasuh selain bagian kaki, kemudian kita mengusap kedua khuff, caranya adalah dengan mengusap bagian atas khuf (cukup sekali mengusapnya), dimulai dari ujung kaki sampai bagian depan betisnya. Dan dalam mengusapnya bisa secara serentak, tanpa mendahulukan kaki kanan.
Dalil caranya adalah hadits Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ عَلَى ظَاهِرِهِمَا
“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap dua khuf, yaitu bagian atas keduanya.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan.” Syaikh Al Albani juga mengatakan demikian dalam Shahih At Tirmidzi no. 85).
Juga berdasarkan kata-kata ‘Ali radhiyallahu ‘anhu:
لَوْ كَانَ اَلدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ اَلْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ, وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ r يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Kalau seandainya agama itu berdasarkan pendapat, tentu bagian bawah sepatu lebih berhak diusap daripada atasnya. Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi, dishahihkan oleh Al Haafizh Ibnu Hajar dalam At Talkhish 1/160).
IV.       Yang membatalkan Mengusap khuf
Yang membatalkan mengusap dua khuff adalah:
1.     Habisnya batas waktu yang  telah ditetapkan.
2.     Ada sesuatu yang mengharuskan mandi, seperti janabat (baik karena mimpi ataupun hubungan suami-isteri). Hal ini berdasarkan hadits Shafwan bin ’Assal:
كَانَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَوْ مُسَافِرِينَ أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ
”Beliau memerintahkan kami ketika safar atau sebagai musafir agar tidak melepas khuf kami selama tiga hari-tiga malam kecuali karena janabat.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi dan ia menshahihkannya, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ (104)).
3.   Dilepasnya kedua khuff atau salah satunya dari kaki, karena dengan dia melepasnya lalu memakainya lagi maka sama saja ia pakaikan khuf ke kedua kakinya tidak dalam keadaan suci (berwudhu’).
V.         Beberapa masalah seputar mengusap khuf
1.   Habisnya batas waktu mengusap dan dilepasnya khuff hanyalah membatalkan mengusap saja, oleh karenanya tidak boleh mengusap lagi sampai ia berwudhu’ dan mencuci kedua kakinya lalu ia pakai khuffainnya. Tetapi, apabila ia dalam keadaan masih ada wudhu’ ketika melepas khuff atau habisnya waktu, maka ia tetap dalam keadaan wudhunya, dimana ia boleh shalat semaunya dengan wudhu’ itu sampai ia berhadats (lihat Al Wajiiz hal. 43). Ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihinya. Imam Baihaqi dan Ath Thahawiy dalam Syarh Ma’anil Aatsar meriwayatkan dari Abu Zhabyan, bahwa ia melihat Ali radhiyallahu ‘anhu buang air kecil dalam keadaan berdiri, lalu meminta dibawakan air wudhu’, maka ia berwudhu’ dan mengusap kedua sandalnya, kemudian masuk masjid, lalu melepas kedua sandalnya dan shalat.”
2.   Diperbolehkan mengusap khuff yang yang robek ringan atau yang ada tambalan. Hal ini berdasarkan perkataan Sufyan Ats Tsauriy rahimahullah:
اِمْسَحْ عَلَى مَا تَعَلَّقَتْ بِهِ رِجْلُكَ ، وَهَلْ كَانَتْ خِفَافُ الْمُهَاجِرِيْنَ وَاْلأَنْصَارِ إِلاَّ مخَُرََّقَةٌ مُشَقَّقَةٌ مُرَقَّعَةٌُ
“Usaplah yang menempel pada kakimu. Bukankah khuf kaum muhajirin dan Anshar itu robek, terbelah dan ada tambalan.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya).
VI.       Mengusap Jabiirah (kayu/bambu untuk meluruskan tulang yang patah), gip, lashuq (plester) dan balutan yang ditaruh di atas luka.
Boleh mengusap jabirah dengan syarat jabirah itu tidak melebihi bagian yang diperlukan. Jika menutupi bagian yang tidak diperlukan, maka harus dibuka. kecuali jika membukanya dikhawatirkan berbahaya atau membuat lepas, maka cukup mengusap di atasnya, yaitu dengan membasahi tangannya kemudian mengusapnya sekali saja. Hal ini berlaku bagi yang bersuci dari hadats kecil maupun hadats besar.
Dalil terhadap masalah ini adalah karena mengusap jabirah adalah darurat (terpaksa), sedangkan darurat disesuaikan dengan ukurannya.
VII.     Mengusap khimar (kerudung wanita)
Penyusun Al Fiqhul Muyassar (hal. 27) berpendapat, ”Sebaiknya ia (wanita) tidak mengusapkan air ke atas(kerudung)nya, kecuali jika ada kesulitan melepasnya atau ada sakit di kepalanya dan sebagainya. ”
Kesimpulannya, dalam menyucikan kepala terdapat kemudahan bagi umat.
VIII.   Jika ada luka pada anggota badan
Jika ada luka pada anggota badan, maka diperhatikan luka itu, selanjutnya ia melakukan seperti ini:
Pertama, jika luka itu tidak ditutup dan tidak berbahaya terkena basuhan air, maka wajib dibasuh.
Kedua, jika luka itu tidak ditutup dan berbahaya jika terkena basuhan air, namun jika mengusapnya tidak berbahaya, maka wajib diusap.
Ketiga, jika luka itu terbuka dan berbahaya ika dibasuh dan diusap dengan air, maka hendaknya ia tutup balutan dan mengusap bagian atas balutan itu.
Keempat, jika luka itu ditutup dengan gip, plester, bebatan dan semisalnya, maka ia usap penutup tesebut dan tidak perlu ia basuh. (lihat pula Thahurul Muslimkarya Dr. Sa’id Al Qahthaniy).
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Fiqhul Muyassar, Fiqhus Sunnah, Al Wajiiz, Minhajul Muslim, Subulus Salam, Al Malkhash Al Fiqhiy, Thahuurul Muslim (Dr. Sa’id Al Qahthani), salah satu artikel dari internet dengan judul Ahkaamul Mas-hi ‘alal khuffain wan na’lain wal jaurabain dll.


[1] Sepatu dan sorban boleh diusap ketika bersuci dari hadats kecil saja (yaitu dalam berwudhu’). Sedangkan balutan dan jabiirah (bebatan) boleh diusap ketika bersuci dari hadats kecil dan besar (dalam wudhu’ dan mandi). Mengusap sepatu ada waktu habisnya sebagaimana akan dijelaskan, sedangkan mengusap balutan batasnya adalah sampai ia lepas atau sampai sembuh sakitnya, adapun sorban sampai ia lepas, jika dipakai lagi boleh ia usap kembali. Tentunya yang kita usap ketika menyapu sorban dan balutan adalah bagian atasnya. Dan dalam mengusap balutan, sorban dan kerudung tidak disyaratkan harus bersuci dahulu ketika memakainya.