Cerita Bersambung berjudul Maira

Cerita Bersambung berjudul Maira

Empat
puluh delapan bulan sudah gadis kecil itu hanya terbaring. Tubuhnya yang dulu
gempal menggemaskan, kini tampak tulang berbungkus kulit. Tak ada lagi keceriaan
pada raut kuyunya. Tatapannya kosong, menerawang jauh berusaha menahan agar
cairan bening dari sepasang matanya tak tumpah.

 

“Bunda,
Maira mau ikut sahur juga,” tiba-tiba suara parau gadis kecil itu memecah
keheningan.

Seorang perempuan jelita yang duduk di sebelah pembaringan
putrinya itu tersentak. Ia paham betul ini Ramadhan keempat buah hatinya ingin
turut menunaikan ibadah puasa. Netranya memandangi selang impus yang tersambung
ke tangan mungil gadis kecilnya, dan menyadari bahwa ini keempat kalinya pula
ia mesti menolak permintaan darah dagingnya tersebut.

 

“Bunda minta maaf! Maira belum bisa ikut puasa tahun ini,”
suaranya bergetar menahan isak.

 

“Bunda udah bilang gitu sejak Ramadhan 1441 hijriah. Dan
sekarang sudah tahun 1444 hijriah. Kapan, Bunda? Kapan Maira bisa puasa lagi?
Kapan Maira bisa ikut shalat bersama Bunda dan Ayah? Kapan Maira bisa ngaji
bareng Bunda lagi? Umur Maira tiga belas, dan Maira sudah bosan hanya di tempat
tidur saja! Maira mau seperti dulu lagi, Bunda! Maira mau sembuuuuh!”

Kalimat terakhir diteriakannya dengan segenap jiwa yang
terluka. Pun cairan bening sekarang deras membasahi pipi tirusnya. Sederas air
mata yang turut menghiasi mata perempuan yang dipanggilnya Bunda.

 

“Bunda minta maaf, Maira! Bunda minta maaf!” bisiknya di
tengah isakan yang tak dapat terkendali.

Di kepala Maira kini berputar-putar hal yang baginya sudah
jelas. Takdir tak adil padanya. Tak adil pada gadis kecil nan tulus ingin
beribadah. Tak adil dengan gadis kecil yang hanya mau menunaikan puasa di bulan
suci Ramadhan. Takdir, tak adil pada Maira yang Cuma ingin menghabiskan
waktunya dengan beribadah bersama kedua orangtuanya.

***

 

Tangisan
gadis kecil itu tak lagi terdengar. Matanya kini terpejam, tampaknya sudah
lelah melampiaskan kemarahannya. Perempuan jelita melihat napas putrinya yang
teratur, menyelimutinya dengan perlahan. Membiarkan permata hatinya tidur
dengan nyaman.

Ia berjalan keluar dari kamar, menghampiri seorang pria
rupawan yang mengajaknya mendirikan shalat subuh bersama.

 

“Bagaimana Maira? Apa tadi ia minta untuk berpuasa juga?”
pria itu bertanya pada makmumnya setelah keduanya melaksanakan ibadah dua
rakaat.

Perempuan jelitanya mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

 

“Tidak ada salahnya kita menuruti keinginannya barang satu
hari. Sejak umurnya sembilan, ia tidak pernah lagi puasa Ramadhan.”

 

“Jadi, menurutmu kita harus melepas impusnya selama sehari?
Menghentikan obat-obatan yang masuk ke dalam tubuhnya?” sang perempuan menatap
tajam suaminya.

Terang-terangan menunjukan keberatannya, pada usulan yang
barusan dilontarkan pria yang telah menikahinya selama lima belas tahun itu.

Ayah dari Maira itu menghela napas panjang.

 

“Aku hanya tidak tega terus-terusan menolak permintaannya.”

 

“Aku pun demikian. Tapi kamu tau, kan, Yah? Maira sangat
bergantung pada obat yang masuk dalam tubuhnya,” kini perempuan jelita itu
kembali terisak. Suaminya mengusap lembut punggungnya.

 

“Yeah, aku tau. Kalau begitu, aku ingin lihat keadaannya
sebentar.”

 

“Tapi dia sedang tidur, Yah. Jangan dibangunkan,” sang istri
berkata lembut.

 

“Tidak akan kubangunkan. Aku hanya ingin mengecup dahinya.”

Pria itu pelan-pelan mendekati pembaringan putri
sematawayangnya. Memandangi tubuh kurus Maira, dan tersenyum kecil melihat
wajah permata hatinya damai dalam tidurnya.

Ia lantas mengecup dahi Maira, dan menyadari sesuatu. Tubuh
gadiskecilnya lebih pucat serta lebih dingin. Dirabanya denyut jantung, tak
didapatinya. Pria rupawan itu cepat-cepat memeriksa denyut nadinya, sekaligus
meletakkan jari dibawah hidung putrinya, tak ada lagi. Tak ada lagi tanda-tanda
kehidupan dari permata hatinya. Putri yang amat disayanginya kini telah
berpulang, pada 1 Ramadhan 1444 Hijriah. Tanggal 23-03-2023, tepat di hari
ulang tahun putrinya yang ke tiga belas tahun.

 

“Innalillahi wa inailaihi rajiun,” bisiknya, sembari sekuat
tenaga menahan agar tak histeris.

Kini, takkan ada lagi putrinya yang bisa dilihatnya setiap
hari. Kini, putrinya tak lagi didera kesakitan yang teramat. Kini, putrinya
telah damai dalam tidur abadinya.

***

 

 

Tamat….

Penulis : Zhizie            

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *