Meluruskan Aqidah dan Manhaj (8)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫منهج أهل السنة والجماعة‬‎
Meluruskan Aqidah dan Manhaj (8)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang kekeliruan dalam Aqidah dan manhaj, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
17. Adanya anggapan bahwa di antara ayat-ayat Al Qur’an atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang bertentang dengan pengetahuan modern.
Ketahuilah, bahwa Al Qur’an dan As Sunnah tidak akan bertentangan selamanya dengan ilmu pengetahuan modern[i]. Kalau pun dikira bertentangan, maka yang perlu diteliti kebenarannya adalah ilmu pengetahuan/penemuan tersebut apakah sudah benar (shahih) atau belum, karena ilmu pengetahuan yang benar tidak akan bertentangan selamanya dengan dilalah yang qath’i (sharih/jelas) dari Al Qur’an dan As Sunnah. Di samping itu, Al Qur’an dan As Sunnah-lah yang membuka pintu bagi akal manusia agar mengasah otaknya dan menggunakan akalnya serta mencela sikap taqlid (membeo tanpa melihat benar-tidaknya orang yang diikuti, ilmiah atau tidaknya orang yang diikuti); dimana taqlid adalah salah satu sumber kebodohan, sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat di Al Qur’an. Misalnya firman Allah Azza wa Jalla,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “Tidak, bahkan kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami”. (Apakah mereka masih tetap mengikuti) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS. Al Baqarah: 170)
Oleh karena itu sangatlah mustahil jika ada ayat atau hadits yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern, karena Al Qur’an dan As Sunnah mendorong manusia agar menggunakan akalnya dalam banyak ayat Al Qur’an.
Ada juga masalah yang perlu kami sampaikan di sini, yaitu Adanya anggapan bahwa jika suatu hadits bertentangan dengan akal yang sehat, maka hadits itu ditolak meskipun shahih.”
Perlu diketahui, bahwa akal yang sehat tidak akan mungkin bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Kalau boleh terjadi pertentangan, maka bisa jadi hadits tersebut dha’if (tidak shahih) atau akalnya yang kurang cerdas atau kedalaman berfikirnya masih kurang.
Ada pula yang memiliki anggapan bahwa bahwa dalil-dalil yang menjadi dasar syari’at kadang terjadi kontradiksi (pertentangan).
Terhadap anggapan ini, kami jawab dengan pernyataan Imam Syathibiy rahimahullahberikut,
“Dalil-dalil yang menjadi dasar syari’at tidak mungkin satu dengan yang lainnya saling bertentangan, maka siapa pun yang meneliti kaedah hukum dengan seksama, pasti tidak mendapati kesamaran sama sekali di dalamnya, sebab tidak mungkin terjadi pertentangan antara ajaran agama, sehingga kita tidak menemukan adanya dua dalil yang disepakati umat Islam saling kontradiktif yang menghendaki seseorang tawwaquf (diam tidak beramal), namun karena seorang mujtahid tidak ma’shum boleh jadi yang terjadi pertentangan bukan dalam nashnya tetapi dalam pemahamannya.”
Kalau pun kita melihat sepertinya ada pertentangan, namun di sana pasti ada titik temu dan bisa dijama’ (digabungkan). Contohnya adalah hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: , صَلَاةُ اَلْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ اَلْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً   مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat.” (Muttafaq ‘alaih)
وَلَهُمَا عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا
Dan dalam riwayat keduanya (Bukhari-Muslim) dari Abu Hurairah disebutkan, “Dengan dua puluh lima kali.”
Bagaimanakah mencari titik temunya?
Jawab: Dalam Subulus Salam disebutkan, “Tidak ada pertentangan antara kedua hadits itu, karena mafhum ‘adad (jumlahnya) bukanlah yang diinginkan, riwayat dua puluh lima masih masuk ke dalam riwayat dua puluh tujuh derajat, bisa juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pertama memberitahukan jumlah paling sedikitnya, setelah itu memberitahukan jumlah paling banyak, dan bahwa hal itu adalah tambahan sebagai karunia dari Allah. Sedangkan sebagian ulama ada juga yang berpendapat bahwa dua puluh tujuh itu bagi orang yang (shalat berjamaah) di masjid, sedangkan dua puluh lima bagi orang yang (shalat berjamaah) di tempat selain masjid. Ada juga yang berpendapat bahwa dua puluh tujuh itu bagi orang yang rumahnya jauh dari masjid, sedangkan dua puluh lima itu bagi orang yang rumahnya dekat dengan masjid.”
Lihatlah! Masih bisa bukan dicari titik temu!
Contoh lainnya adalah larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air menghadap ke kiblat dan membelakanginya, namun dalam hadits yang lain dari Ibnu Umar, bahwa dia pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air membelakangi kiblat, Ibnu Umar berkata, “Suatu hari aku pernah naik ke rumah Hafshah, aku pun melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air menghadap ke Syam dan membelakangi kiblat.” (HR. Jama’ah Ahli Hadits)
Untuk menjamak hadits ini adalah menetapkan bahwa larangan buang air menghadap atau membelakangi kiblat adalah jika di tempat terbuka, namun jika dalam bangunan, maka tidak mengapa.
18. Mendatangi dukun, paranormal dan peramal, atau melakukan sihir (termasuk tenung dan pelet).
Perdukunan, ramalan dan sihir adalah masalah besar, termasuk dosa yang sangat besar.
Kita dilarang mendatangi (bertanya kepada) dukun, peramal, dan paranormal, meskipun tidak membenarkan, bahkan shalat kita selama 40 hari tidak diterima. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً » . 
“Barang siapa mendatangi peramal, lalu bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Muslim)
Zhahir hadits ini adalah bahwa sekedar bertanya menjadikan shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.
Perlu diketahui, bahwa bertanya kepada peramal atau paranormal terbagi menjadi beberapa bagian[ii]:
Pertama, hanya sekedar bertanya, hal ini adalah haram berdasarkan hadits di atas.
Kedua, bertanya dan membenarkan, maka hal ini adalah kekufuran, karena sama saja membenarkan pengakuannya mengetahui yang ghaib, padahal tidak ada yang mengetahui hal ghaib selain Allah (lihat QS. An Naml: 65). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa mendatangi peramal atau dukun, lalu ia membenarkan kata-katanya, maka ia telah kufur kepada Al Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad dan Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5939)
Ketiga, bertanya dengan maksud mengetesnya apakah ia benar (seorang dukun) atau dusta, bukan untuk mengambil perkataannya. Hal ini tidak mengapa, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad, “Apa yang kamu sembunyikan?” ia menjawab, “Ad Dukh (dukhan/asap)”, maka Beliau bersabda, “Hinalah kamu, sesungguhnya kamu tidak akan dapat melewati batas(kemampuan)mu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya tentang sesuatu yang disembunyikannya untuk mengetesnya.
Keempat, bertanya untuk menampakkan kelemahannya dan kedustaannya, misalnya  mengetesnya dengan sesuatu yang dapat memperlihatkan kelemahan dan kedustaannya. Hal ini bagus sekali, bahkan harus, karena membatalkan perkataan para dukun adalah diperintahkan.
Adapun sihirterbagi dua:
Petama, dengan membuat buhul (ikatan) dan menjampi-jampi, yakni dengan membaca mantera-mantera, dimana dengan mantera itu seorang penyihir dapat meminta bantuan kepada setan untuk menimpakan bahaya kepada orang yang disihir. Contoh dalam hal ini adalah santet, teluh, tenung, dsb. Namun hal ini sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Al Baqarah: 102, tidaklah dapat membahayakan kecuali dengan izin Allah.
Kedua, dengan obat-obatan yang memiliki pengaruh terhadap badan, akal, sikap, dan keinginan orang yang disihir, inilah yang biasa disebut dengan pelet.
Untuk sihir jenis pertama adalah sebuah bentuk kemusyrikan, karena pelakunya menggunakan perantaraan setan, dimana pelakunya harus menyembah setan-setan itu dan mendekatkan diri kepada mereka. Sihir jenis pertama ini, pelakunya dikafirkan, berdasarkan surat Al Baqarah: 102.
Sedangkan sihir jenis kedua yang menggunakan obat-obatan merupakan tindak kezaliman dan kefasikan. Pelakunya tidak dikafirkan, namun dianggap sebagai pelaku maksiat dan zalim.
Had bagi pelaku sihir adalah dengan dihukum bunuh sebagaimana dilakukan oleh tiga orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Umar, Jundab dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum, karena mereka telah meresahkan keamanan dan ketenteraman, dimana masyarakat ditimpa rasa ketakutan dan kekhawatiran karena sihirnya itu.
Jika sihirnya jenis pertama, maka pelakunya dihukum bunuh sebagai murtad, kecuali jika si penyihir tersebut mau bertaubat –menurut pendapat yang mengatakan bahwa taubatnya diterima, dan pendapat inilah yang shahih (benar)-. Adapun jika sihirnya adalah sihir jenis kedua (yang menggunakan obat-obatan), maka ia dibunuh karena dihukumi sebagai penyerang, dimana pembunuhan dilakukan untuk menghindarkan bahaya dan kerusakannya di muka bumi. Namun untuk memberi sanksi bunuh terhadap sihir jenis kedua ini kembali kepada ijtihad imam (pemerintah).
Catatan:
Kami juga juga ingin menjelaskan masalah yang kadang terjadi yaitu tentang “menyembuhkan sihir”.
Dalam menyembuhkan sihir ada beberapa cara:
Pertama, menghilangkannya dengan sihir juga, misalnya dengan membacakan mantera, jampi-jampi, membuat buhul dan meniup-niupnya. hal ini hukumnya haram dan termasuk amalan setan.
Kedua, meminta bantuan setan, jika untuk meminta bantuan harus melakukan kesyirikkan, maka menjadi syirik, namun jika untuk meminta bantuan harus melakukan kemaksiatan, maka menjadi sebuah kemaksiatan.
Kedua hal di atas disebut nusyrah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang nusyrah, Beliau menjawab,
هِيَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
“Hal itu termasuk perbuatan setan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Hakim dan ia menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabiy, Al Hafizh berkata,“Isnadnya hasan.”)
Imam Ahmad pernah ditanya tentang masalah ini, ia menjawab, “Ibnu Mas’ud membenci[iii]semua itu.”
Ketiga, menghilangkan sihir dengan ruqyah syar’i[iv]dan ta’awwudzat (perlindungan) yang diambil dari Al Qur’an dan As Sunnah, doa-doa atau dengan obat-obatan yang yang mubah, maka hal ini hukumnya boleh.
Kita juga harus yakin bahwa Allah-lah yang menyembuhkan bukan yang orang yang membaca ruqyah.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa


[i] Demikian juga tidak akan bertentangan selamanya dengan akal yang sehat.
[ii] Lihat kitab Al Qaulul Mufid karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin bab maa jaa’a fil kuhhan wa nahwihim.
[iii] Membenci atau yang biasa disebut “karahah” dalam bahasa Arab menurut generasi terdahulu biasanya adalah haram, dan tidak keluar dari hukum haram kecuali ada qarinah (tanda yang memalingkannya). Namun berbeda dengan generasi belakang, di mana karahah berarti kurang utama. Oleh karena itu, lafaz makruh menurut generasi terdahulu dengan generasi sekarang berbeda. Perhatikanlah surat Al Israa’: 38, setelah Allah menyebutkan syirk dan perbuatan-perbuatan haram lainnya di ayat sebelumnya, Allah mengakhiri dengan firman-Nya, “Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.” (Lihat Al Qaulul Mufiid bab Maa jaa’a fin nusyrah).
[iv] As Suyuuthiy berkata, ”Para ulama sepakat bolehnya ruqyah apabila terpenuhi tiga syarat,
1.      Menggunakan firman Allah atau dengan nama-nama atau sifat-Nya.
2.      Dengan bahasa ‘Arab atau dengan kata-kata yang dimengerti maknanya.
3.      Meyakini bahwa ruqyah tersebut bukanlah yang menyembuhkannya, namun  dengan taqdir Allah Ta’ala.”