بسم الله الرحمن الرحيم
Mengqashar Shalat Bagi Musafir
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Di antara kemudahan Islam adalah pensyariatan mengqashar shalat bagi musafir (orang yang bepergian jauh).
Mengqashar artinya mengurangi jumlah rakaat yang sebelumnya empat rakaat menjadi dua rakaat.
Dalil disyariatkan mengqashar shalat adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. Dalam Al Qur’an, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (Terj. QS. An Nisaa’: 101)
Dari Ya’la bin Umayyah, bahwa ia pernah bertanya kepada Umar bin Khaththab tentang ayat ini, “Jika kamu takut diserang orang-orang kafir,”sedangkan manusia telah berada dalam keamanan,maka Umar menjawab, “Aku juga heran seperti kamu heran, lalu aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya, maka Beliau bersabda:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
“Itu adalah sedekah yang disedekahkan Allah kepadamu, maka terimalah sedekah itu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
الصَّلَاةُ أَوَّلُ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ
“Shalat pertama kali diwajibkan adalah dua rakaat, lalu ditetapkan untuk shalat safar dan disempurnakan (ditambah) untuk shalat hadhar (tidak safar).” (HR. Bukhari dan Muslim. Bukhari menambahkan, “Kemudian Beliau berhijrah, lalu diwajibkan menjadi empat rakaat, sedangkan shalat safar ditetapkan seperti pertama (dua rakaat).” Imam Ahmad menambahkan, “Kecuali shalat Maghrib, karena ia adalah witir di waktu siang, dan kecuali shalat Subuh, karena bacaan ketika itu panjang.”)
Hadits di atas menunjukkan wajibnya mengqashar shalat ketika safar. Inilah yang dipegang oleh ulama madzhab Hadawi, madzhab Hanafi dan lainnya. Adapun Imam Syafi’i dan jamaah dari kalangan ulama berpendapat, bahwa qashar merupakan rukhshah, sedangkan menyempurnakan adalah lebih utama, mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala, “maka tidak mengapa kamu mengqashar shalat(mu),”
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Sesungguhnya aku menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar, maka Beliau tidak menambah melebihi dua rakaat sampai Allah mewafatkannya. Demikian pula aku menemani Abu Bakar, maka dia tidak menambah melebihi dua rakaat sampai Allah mewafatkannya…dst.” Ibnu Umar juga menyebutkan Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhuma. (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqasahar shalat yang empat rakaat dengan mengerjakannya dua rakaat dari sejak Beliau keluar sebagai musafir hingga kembali ke Madinah, dan tidak sah sama sekali dari Beliau bahwa Beliau menyempurnakan shalat yang berjumlah empat rakaat.”
Adapun dalil ijma’, maka qashar termasuk perkara yang sangat maklum dalam agama, dan umat telah sepakat terhadap (pensyariatan)nya. Dengan demikian, menjaga Sunnah ini (mengqashar shalat) dan mengambil rukhshah ini lebih patut dan lebih utama daripada meninggalkannya, bahkan sebagian ahli ilmu berpendapat makruh menyempurnakan shalat yang empat rakaat ketika safar. Hal itu, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat melazimi Sunnah ini, dan bahwa hal itu merupakan petunjuk yang senantiasa berlanjut (Lihat Al Fiqhul Muyassar hal. 88).
I. Jarak boleh mengqashar Shalat
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan jarak seseorang boleh mengqashar shalat dengan perbedaan pendapat yang banyak, sampai-sampai Ibnul Mundzir dan lainnya menukilkan lebih dari dua puluh pendapat tentang masalah ini. Namun yang rajih adalah bahwa tidak ada dasar untuk batasannya, selain yang disebut sebagai safar (perjalanan jauh) dalam bahasa Arab yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara menggunakannya. Hal itu, karena jika ada batasan untuk ukuran safar selain yang kita sebutkan, tentu Beliau tidak akan lalai menerangkannya sama sekali, demikian pula para sahabat juga tidak akan lalai menanyakannya, dan tentu mereka tidak akan sepakat meninggalkan penukilan batasannya kepada kita (lihat Al Muhalla 5/21).
Namun Jumhur (mayoritas) ulama menentukan jarak seseorang boleh mengqashar shalat yaitu 4 barid/16 farsakh (1 barid = 12 mil[i]), sehingga 4 barid = 76800 m/76,8 km. Mereka memperkirakan jarak safar yang biasa dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau seseorang berpegang dengan pendapat jumhur, sehingga tidak mengqashar kecuali setelah menempuh perjalanan 76,8 KM (atau 80 km), maka tidak mengapa.
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar melakukan qashar dan berbuka puasa dalam perjalanan 4 barid, yaitu 16 farsakh.
Menurut kebanyakan ulama, untuk safar yang haram (seperti safar untuk maksiat) tidak diperbolehkan mengqashar shalat.
II. Tempat mulai mengqashar shalat
Jumhur ulama berpendapat, bahwa mengqashar shalat disyariatkan setelah meninggalkan hadhar (tempat pemukimannya) dan keluar dari kotanya[ii], dan bahwa hal itu merupakan syarat, dan tidak menyempurnakan shalatnya (menjadi 4 rakaat) sampai ia memasuki awal rumah-rumah(yang ada di kota)nya. Ibnul Mundzir berkata, “Aku tidak mengetahui, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqashar (shalat) dalam salah satu safarnya kecuali setelah keluar dari Madinah.” Anas berkata, “Aku shalat Zhuhur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat, dan di Dzulhulaifah dua rakaat (shalat Ashar).” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Namun sebagian kaum salaf ada yang berpendapat, bahwa barang siapa yang berniat safar, maka ia boleh mengqashar meskipun di rumahnya (lihat Fiqhus Sunnah di Bab Shalaatul Musaafir). Tetapi yang rajih –insya Allah- adalah pendapat jumhur ulama di atas, wallahu a’lam.
III. Kapankah seseorang menyempurnakan shalatnya?
Seorang musafir tetap mengqashar shalat selama sebagai musafir. Jika ia berdiam karena suatu keperluan yang ia tunggu selesainya, maka ia tetap mengqashar shalat karena ia dianggap musafir meskipun berdiam lama. Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ الصَّلَاةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud 1094).
Ibnul Qayyim berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda kepada umat, seseorang tidak boleh mengqashar shalat apabila tinggal lebih dari sejumlah hari itu, akan tetapi telah disepakati bahwa tinggalnya Beliau adalah sejumlah hari itu.”
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat, bahwa musafir mengqashar shalat selama tidak berniat mukim.”
Namun apabila ia berniat mukim, maka ia sempurnakan shalatnya setelah lewat 19 hari sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut:
أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiam (dalam safar) selama sembilan belas hari, maka Beliau mengqashar shalat. Kami pun sama, apabila bersafar selama sembilan belas hari, kami mengqashar shalat. Tetapi, apabila kami lebih dari itu, maka kami sempurnakan.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Dawud, namun dalam riwayat Abu Dawud disebutkan ‘tujuh belas hari’.)
Tetapi menurut Ibnul Qayyim bahwa berniat mukim tidaklah mengeluarkannya dari hukum safar, baik safarnya lama atau sebentar selama ia tidak menjadikan tempat yang disinggahi itu sebagai tempat tinggalnya, wallahu a’lam.
IV. Shalat sunnah ketika safar
Ibnul Qayyim pernah berkata, “Termasuk tuntunan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya adalah hanya melakukan shalat fardhu saja, dan tidak ada riwayat bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah sebelum shalat fardhu maupun setelah shalat fardhu (shalat sunnah rawaatib), kecuali shalat sunnah witir dan shalat sunnah sebelum shalat fajar, kedua shalat itu tidak pernah ditinggalkan Beliau baik ketika tidak safar (hadhar) maupun ketika safar.”[iii]
V. Berlakunya qashar untuk semua musafir
Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazaa’iriy dalam Minhaajul Muslimberkata, “Tidak ada bedanya dalam hal disunnahkan qashar baik yang bersafar dengan berkendaraan maupun berjalan kaki, baik yang berkendaraan hewan maupun yang berkendaraan mobil atau pesawat. Hanyasaja, bagi pelaut jika jarang turun dari perahunya sepanjang tahun, dan ia memiliki keluarga di perahunya, maka tidak disunnahkan mengqashar shalat, bahkan hendaknya ia menyempurnakan, karena ia seperti orang yang menjadikan perahu sebagai tempat tinggalnya.”
VI. Jika musafir sebagai Imam
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa ia ketika datang ke Mekah, shalat mengimami mereka dua rakaat, lalu ia berkata (setelah shalat), “Wahai penduduk Mekah! Sempurnakanlah shalatmu karena kami orang-orang yang sedang safar.” (HR. Malik, Imam Syaukani berkata, “Atsar Umar (ini) para perawi isnadnya adalah para imam yang tsiqah.”)
VII. Keadaan dimana musafir wajib menyempurnakan shalat
Ada beberapa keadaan yang dikecualikan bagi musafir untuk mengqashar shalat ketika safar, yaitu:
1. Apabila musafir bermakmum kepada yang mukim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Innamaa ju’ilal imaamu liyu’tamma bih.” (Imam itu dijadikan untuk diikuti). Demikian pula berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika ia ditanya tentang menyempurnakan shalat di belakang orang yang mukim, “Itu adalah sunnah Abil Qaasim (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ no. 571). Baik ia mendapatkan shalat dari awalnya, satu rakaat saja maupun ia hanya mendapatkan tasyahhud akhir bersama orang yang mukim.
2. Ketika musafir melakukan shalat; yang wajib dilakukan secara sempurna, lalu ia batal dan mengulangi shalatnya. Misalnya, seorang musafir shalat di belakang orang yang mukim, dimana dalam hal ini ia wajib menyempurnakan shalat menjadi empat rakaat, lalu shalatnya batal, maka ketika dia mengulangi, ia wajib mengulangi secara sempurna (empat rakaat), karena itu merupakan pengulangan terhadap shalat yang sempurna.
3. Jika ia bermakmum kepada orang yang ia masih ragu-ragu apakah imamnya itu sebagai musafir atau mukim, seperti di bandara dsb. maka ia wajib melakukan shalat secara sempurna, karena untuk mengqashar shalat harus ada niat yang jazim (pasti), adapun jika masih ragu-ragu, maka ia menyempurnakan.
4. Jika musafir berniat mukim secara mutlak (tanpa dibatasi waktu atau pekerjaan tertentu) atau menjadikan tempat yang disinggahinya sebagai tempat tinggal, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya, karena telah terputus hukum safar baginya. Tetapi apabila ia membatasi safarnya dengan waktu tertentu atau pekerjaan tertentu, maka ia sebagai musafir yang mengqashar shalat (Lihat Al Fiqhul Muyassar hal. 90-91).
Di samping mengqashar shalat. Musafir juga diperbolehkan menjama’ shalat sebagaimana akan diterangkan nanti dalam pembahasan khusus tentang menjama’ shalat, insya Allah.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Maktabatusy Syaamilah, Al Wajiiz (Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhas Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al Fiqhul Muyassar, Minhaajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy), Shalaatul Musaafir (Dr. Sa’id Al Qahthani), Al Mukhtashar min Ahkaamis safar (Syaikh Fahd Al ‘Ammariy) dll.
[i] 1 mil = 1600 m, sedangkan 1 farsakh adalah 4800 m (tiga mil).
[ii] Dengan berpisah badan. Oleh karena itu, tidak disyaratkan dalam berpisah itu harus tidak melihat rumah-rumah, bahkan cukup berpisah badan.” (Asy Syarhul Mumti’ 4/512)
[iii] Namun, tidak mengapa bagi musafir melakukan shalat sunnah yang lain dan melakukan shalat dzwaatul asbaab (shalat yang memiliki sebab) seperti shalat Dhuha, shalat sunnah setelah wudhu’, shalat kusuf, shalat tahiyyatul masjid ketika masuk masjid, demikian juga melakukan sujud tilawah (karena membaca ayat sajadah), Sebagaimana dijelaskan Syaikh Ibnu Baz dalam fatawanya. Dalilnya adalah sbb:
– دليل ركعتي الفجر عندما نام الرسول e في السفر ولم يستيقظ إلا على حرِّ الشمس قال أبو قتادة ( ثم أذن بلال بالصلاة فصلى رسول الله ركعتين ثم صلى الغداة فصنع كما يصنع كل يوم ) رواه مسلم .
– ودليل الضحى ما ورد عن أنس tقال : رأيت رسول الله e صلى في السفر سبحة الضحى ثمان ركعات (قال الحافظ في الفتح رواه أحمد وصححه ابن خزيمة والحاكم 3/68 .) وحديث أم هانئ في قصة اغتساله e يوم فتح مكة ( ثم صلى ثمان ركعات سبحة الضحى )رواه مسلم
– ودليل قيام الليل قالe : ( ثلاثة يحبهم الله _ وذكر منهم _ قوم ساروا ليلهم حتى إذا كان النوم أحب إليهم مما يعدل به فوضعوا رؤوسهم قام يتملقني ويتلو آياتي ) وفي رواية( والقوم يسافرون فيطول سراهم حتى يحبوا أن يمسوا الأرض فينزلون فيتنحى أحدهم فيصلي حتى يوقظهم لرحيلهم ) رواه الترمذي والنسائي وابن خزيمة وابن حبان والطبراني والبهقي والبزاروغيرهم وضعف الألباني الرواية الأولى في الجامع برقم2610.وصحح الثانية في الجامع برقم3074 ورواها أحمد .(نقلا من المختصر من أحكام السفر للشيخ فهد بن يحيى العماري)