Fiqh Hibah (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Hibah (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang hibah, semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Tabarru’ (memberi secara suka rela) dengan semua harta
Madzhab jumhur ulama adalah bahwa seseorang berhak menghibahkan semua miliknya kepada orang lain. Namun Muhammad bin Al Hasan dan sebagian peneliti dari madzhab Hanafi berpendapat, tidak sah memberikan semua harta meskipun untuk jalur-jalur kebaikan, bahkan mereka menganggap bahwa orang yang melakukan hal itu merupakan orang dungu yang wajib dihajr (dicegah). Masalah ini juga telah dibahas oleh penyusun Ar Raudhah An Nadiyyah, ia berkata,
“Barang siapa yang siap bersabar untuk miskin dan miliknya menjadi sedikit, maka tidak mengapa menyedekahkan sebagian besar hartanya atau semuanya. Namun barang siapa yang membuatnya meminta-minta kepada manusia ketika ia butuh, maka tidak boleh baginya menyedekahkan semua harta atau dengan sebagian besar hartanya. Inilah cara menjama’ (menggabung) antara hadits-hadits yang menunjukkan bahwa lebih dari 1/3 tidaklah disyari’atkan dengan dalil-dalil yang menunjukkan disyari’atkan bersedekah lebih dari 1/3.”
Membalas hadiah
Dianjurkan membalas secara sama dalam hadiah, meskipun dari orang yang berkedudukan tinggi kepada orang yang berkedudukan rendah. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ahmad, Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيْبُ عَلَيْهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dan membalasnya[1].”
Sedangkan dalam lafaz Ibnu Abi Syaibah disebutkan:
وَيُثِيْبُ مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهَا
“Dan membalas dengan yang lebih baik daripadanya.”
Hal ini dilakukan agar membalas sesuatu yang baik dengan yang semisalnya dan agar tidak ada lagi nikmat (jasa) orang lain atas dirinya. Al Khaththabiy berkata, “Di antara ulama ada yang menjadikan masalah hadiah menjadi tiga tingkatan;
1.       Hibah seseorang kepada orang yang berada di bawahnya seperti pelayan dan semisalnya sebagai pemuliaan terhadapnya dan pelembutan untuknya. Hal itu tidak menghendaki adanya ganti atau balasan.
2.       Hibah anak kecil kepada orang dewasa, di mana ia meminta pemberian dan manfaat, maka membalasnya wajib.
3.       Hibah seorang teman sebaya kepada teman sebayanya. Yang lebih kuat di dalamnya adalah rasa cinta dan mengakrabkan. Ada yang berpendapat bahwa untuk hal ini berlaku “membalas”. Adapun jika memberikan hibah dan mensyaratkan adanya balasan, maka balasan itu mesti.
Haramnya melebihkan sebagian anak dalam pemberian dan berbakti
Tidak halal bagi seseorang melebihkan sebagian anaknya dalam pemberian, karena yang demikian dapat menanamkam permusuhan dan memutuskan hubungan yang diperintahkan Allah Ta’ala untuk disambung. Hal ini telah dipegang oleh Imam Ahmad[2], Ishaq, Ats Tsauriy, Thawus dan ulama madzhab Maliki. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya melebihkan sebagian anak merupakan perkara batil dan zalim yang wajib dibatalkan bagi pelakunya.”
Imam Bukhari juga telah menegaskan hal ini. Para ulama berdalih terhadap hal ini dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَوُّوْا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ فِي الْعَطِيَّةِ . وَلَوْ كُنْتُ مُفَضِّلاً أَحَدًا لَفَضَّلْتُ النِّسَاءَ
“Samakanlah antara anak-anak kalian dalam pemberian. Kalau seandainya boleh ada seorang yang hendak saya lebihkan, tentu saya akan melebihkan kaum wanita.” (HR. Thabrani, Baihaqi dan Sa’id bin Manshur, dihasankan oleh Al Haafizh Ibnu hajar isnadnya dalam Al Fat-h)
عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ أَنْحَلَنِي: أَبِي نُحْلًا، قَالَ إِسْمَاعِيلُ بْنُ سَالِمٍ: مِنْ بَيْنِ الْقَوْمِ نِحْلَةً غُلَامًا لَهُ، قَالَ: فَقَالَتْ لَهُ: أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ ائْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشْهِدْهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشْهَدَهُ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ لَهُ: إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي النُّعْمَانَ نُحْلًا وَإِنَّ عَمْرَةَ سَأَلَتْنِي أَنْ أُشْهِدَكَ عَلَى ذَلِكَ، قَالَ: فَقَالَ: «أَلَكَ وَلَدٌ سِوَاهُ؟» قَالَ: قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «فَكُلَّهُمْ أَعْطَيْتَ مِثْلَ مَا أَعْطَيْتَ النُّعْمَانَ؟» قَالَ: لَا، قَالَ: فَقَالَ: بَعْضُ هَؤُلَاءِ الْمُحَدِّثِينَ، ” هَذَا جَوْرٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ: «هَذَا تَلْجِئَةٌ فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي» قَالَ مُغِيرَةُ: فِي حَدِيثِهِ «أَلَيْسَ يَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا لَكَ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ سَوَاءٌ» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي»
Dari Asy Sya’biy dari Nu’man bin Basyir ia berkata, Bapakku memberiku suatu pemberian –Isma’il bin Salim dari kalangan kaum itu berkata-, “Ia memberikan kepadanya seorang budak. Ibuku, yaitu ‘Amrah binti Rawahah berkata kepadanya, “Datangilah Rasulullah dan angkatlah Beliau sebagai saksi,” maka ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengangkat Beliau sebagai saksi dan memberitahukan hal itu, ia berkata kepada Beliau, “Sesungguhnya saya memberikan kepada puteraku Nu’man suatu pemberian, dan sesungguhnya si ‘Amrah memintaku untuk menjadikan engkau sebagai saksi atasnya.” Lalu Beliau bertanya, “Apakah kamu memiliki anak selainnya?” Basyir berkata: Aku menjawab, “Ya,” lalu Beliau bertanya, “Apakah semuanya kamu berikan seperti yang kamu berikan kepada Nu’man?” ia menjawab, “Tidak.” Maka Beliau bersabda –sebagian ahli hadits menyebutkan jawaban Beliau, yaitu-, “Ini adalah kezaliman,” sedangkan yang lain menyebutkan, “Ini adalah pemberian terpaksa (sepihak), maka carilah saksi selainku terhadapnya.” Mughirah dalam haditsnya berkata, “Bukankah kamu senang jika mereka sama-sama dalam berbakti dan berbuat baik kepadamu?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda lagi, “Kalau begitu ambillah saksi selainku.” (Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani)
Ibnul Qayyim berkata, “Hadits ini termasuk perincian keadilan yang diperintahkan Allah dalam kitab-Nya, dan dengannya langit dan bumi dapat tegak, sekaligus syari’at dapat berdiri di atasnya. Ia sangat sejalan dengan Al Qur’an dari semua qiyas yang ada di permukaan bumi, dilalah(kandungan)nya cukup jelas dan sangat kokoh.”
Namun ulama madzhab Hanafi, Imam Syafi’i, Malik dan jumhur ulama berpendapat bahwa penyamarataan antara anak-anak adalah hal yang dianjurkan, melebikan adalah hal yang makruh. Jika ternyata dilakukan, maka tetap diberlakukan. Mereka menjawab hadits Nu’man tersebut dengan sepuluh jawaban sebagaimana disebutkan Al Haafizh dalam Al Fat-h namun semuanya terbantahkan. Imam Syaukani juga menyebutkan dalam Nailul Awthaar dan Syaikh Sayyid Saabiq juga menyebutkan dalam Fiqhus Sunnah dengan beberapa tambahan penting, yang singkatnya:
1.     Bahwa harta yang diberikan kepada Nu’man itu adalah semua harta bapaknya, sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Abdil Bar. Namun pendapat ini terbantahkan, bahwa kebanyakan jalur-jalur hadits menegaskan bahwa yang diberikan itu hanya sebagiannya sebagaimana dalam hadits di atas bahwa harta yang diberikan itu adalah seorang budak, dan sebagaimana dalam lafaz Muslim “Tashaddaqa ‘alayya abii biba’dhi maalih,” (Bapakku menyedekahkan kepadaku sebagian hartanya).
2.     Pemberian yang disebutkan itu tidak jadi, Basyir hanyalah datang bermusyawarah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal itu, Lalu Beliau menyarankan untuk tidak melakukannya, maka ia pun tidak jadi melakukan sebagaimana diceritakan Ath Thabariy. Namun pendapat ini dibantah, bahwa perintah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menarik kembali menunjukkan bahwa awalnya memang sudah jadi. Juga berdasarkan kata-kata ‘Amrah, “saya tidak ridha sampai engkau mengangkat saksi…dst.”
3.     Nu’man adalah anak tertua, dan ia belum menerima hibah sehingga bagi bapaknya boleh menarik kembali sebagaimana disebutkan Ath Thahaawiy.  Al Haafizh berkata, “Namun ia menyelisihi yang ada pada kebanyakan jalur-jalur hadits khususnya kata-kata, “Tariklah kembali.” Hal ini menunjukkan telah terjadi penerimaan. Bahkan riwayat-riwayat saling mendukung bahwa Nu’man masih kecil, bapaknyalah yang memegangnya karena ia masih kecil, lalu ia diperintahkan untuk mengembalikan pemberian tersebut setelah dihukumi telah diterima.
4.     Kata-kata, “Tariklah kembali,” menunjukkan bahwa pemberian itu dianggap sah. Kalau seandainya tidak sah hibah itu, maka tidak sah menarik kembali. Beliau memerintahkan menarik kembali hanyalah karena  bapak berhak menarik kembali pemberian kepada anaknya, meskipun yang lebih utama adalah tidak demikian. Akan tetapi anjuran menyamaratakan sangat bisa dilakukan pada waktu itu sehingga Beliau memerintahkannya. Dalam Al Fath disebutkan, “Berhujjah seperti ini perlu ditinjau kembali. Yang tampak adalah bahwa makna sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tariklah kembali,” adalah tidak boleh dijalankan pemberian tersebut, dan yang demikian tidaklah menunjukkan sudah sah hibah itu sebelumnya.
5.     Sabda Beliau, “Ambillah saksi terhadap ini selainku,” merupan izin boleh mengambil saksi terhadap hal itu, Beliau enggan melakukan hal itu karena sebagai imam, seakan-akan Beliau berkata, “Saya tidak akan bersaksi karena imam tugasnya bukanlah bersaksi, ia tugasnya adalah menetapkan hukum.” Hal ini diceritakan oleh Ath Thahaawiy dan diridhai oleh Ibnul Qashshaar. Namun pendapat ini juga dibantah, bahwa karena imam tugasnya bukan sebagai saksi tidak mesti ia harus enggan menjadi saksi dan menunaikannya ketika diminta. Bahkan izin mengambil saksi maksud Beliau adalah mencela berdasarkan lafaz-lafaz hadits setelahnya. Al Haafizh berkata, “Itulah yang ditegaskan jumhur di tempat ini.” Ibnu Hibban berkata, “Sabda Beliau, “Ambillah saksi” memang shighat (bentuk) perintah, namun maksudnya adalah tidak boleh, hal ini seperti sabda Beliau kepada Aisyah, “Buatlah syarat walaa’ dari mereka.” Hal ini diperkuat juga dengan penamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kezaliman terhadap perbuatan itu sebagaimana dalam riwayat yang disebutkan dalam bab itu.
6.     Berpegang dengan sabda Beliau, “Tidakkah kamu menyamaratakan antara mereka?”menunjukkan bahwa perintah tersebut dianjurkan dan larangannya hanyalah makruh. Al Haafizh berkata, “Pendapat ini bagus kalau seandainya tidak ada lafaz-lafaz lagi di samping lafaz ini.” Terlebih dengan riwayat “Sawwi bainahum” (Samaratakanlah di antara mereka).
7. Yang mahfuzh (kuat) dalam hadits Nu’maan adalah lafaz “Qaaribuu baina awlaadikum” (Dekatkanlah antara anak-anak kamu) bukan “samaratakanlah.” Namun pendapat ini dibantah juga, bahwa sama saja anda tetap tidak mewajibkan pendekatan sebagaimana tidak mewajibkan menyamaratakan.
8. Adanya penyerupaan antara penyamarataan pemberian dengan penyamarataaan berbakti dari pihak anak ada qarinah yang menunjukkan bahwa perintah tersebut menunjukkan sunat. Namun pendapat ini juga dibantah, bahwa disebutkannya secara mutlak kata-kata zalim terhadap tindakan tidak rata dan larangan melebihkan menunjukkan wajib, sehingga qarinah itu tidak bisa dipakai untuk memalingkan.
9. Sebagaimana yang telah lewat dari Abu Bakar tentang pemberianya kepada Aisyah dan kata-katanya kepada Aisyah, “Kalau kamu mau menggarapnya,” demikian juga yang diriwayatkan oleh Thahawiy dari Umar bahwa ia memberikan kepada puteranya ‘Ashim tidak kepada semua anaknya. Jika sekiranya melebihkan itu tidak boleh, tentu tidak dilakukan oleh dua orang khalifah. Dalam Al Fath disebutkan jawabannya, “Urwah telah menjawab tentang kisah Aisyah tersebut bahwa sauadaranya semua ridha, ia pun menjawab seperti itu terhadap kisah ‘Ashim.” Di samping itu, perbuatan mereka tidak menjadi hujjah terlebih jika bertentangan dengan hadits marfu’.
10. Sesungguhnya ijma’ telah terjadi tentang bolehnya seseorang memberikan hartanya kepada selain anaknya. Jika seseorang boleh tidak memasukkan semua anak dalam pemberian hartanya, tentu boleh baginya memasukkan anak ke dalamnya dengan memilikinya sebagian mereka sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr. Al Haafizh berkata, “Tidak samar sekali kelemahannya, karena ia merupakan qiyas ketika ada nash. Bahkan yang benar adalah bahwa menyamaratakan adalah wajib dan melebihkan adalah haram.”
Namun para ulama yang mewajibkan sama rata berselisih dalam cara menyamaratakan. Muhammad bin Al Hasan, Ahmad, Ishaq dan sebagian ulama madzhab Syaafi’i dan Maliki berpendapat bahwa yang adil adalah seorang laki-laki diberi bagian dua orang wanita seperti dalam warisan. Mereka berhujjah bahwa, begitulah bagiannya yang diperoleh dari harta jika ia meninggal dari si pemberi hibah. Namun ulama yang lain berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun wanita, dan zhahir perintah itu adalah disamaratakan.”
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah beberapa versi, dll.


[1] Yakni orang yang diberi hadiah memberikan gantinya dan minimal ukurannya sama dengan nilai hadiah yang diberikan.
[2] Madzhab Imam Ahmad adalah bahwa haram melebihkan sebagian anak ketika di sana tidak ada pendorongnya. Jika ada pendorongnya atau menghendaki dilebihkan, maka tidak dilarang. Dalam Al Mughni disebutkan, “Jika sebagian anak dikhususkan karena sesuatu yang menghendaki dikhususkan seperti karena ada kebutuhan, atau karena sakit yang berkepanjangan atau karena buta atau banyak tanggungannya atau sibuk menuntut ilmu atau hal lainnya yang utama atau dialihkan pemberian dari sebagian anaknya karena fasiknya si anak atau bid’ahnya atau ia akan menggunakannya untuk maksiat kepada Allah atau membantu di dalamnya, maka ada riwayat dari Imam Ahmad yang menunjukkan kebolehannya berdasarkan pendapatnya tentang pengkhususan sebagian anak dalam hal waqf, “Tidak mengapa jika ada keperluan, namun saya membenci jika karena hendak melebihkan, dan pemberian juga sama seperti ini (seperti waqf).”