Ikhtishar Ilmu Hadits (8)

بسم الله الرحمن الرحيم
علوم الحديث – QAcademy
Ikhtishar Ilmu Hadits (8)
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan Ikhtishar (Ringkasan) Ilmu hadits merujuk kepada kitab Musthalahul Hadits Al Muyassar karya Dr. Imad Ali Jum’ah, Mushthalahul Haditskarya Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
TAKMILAH (PELENGKAP)
1. Az Ziyadah fil Hadits (Tambahan dalam sebuah hadits)
Ta’rif (definisi), pembagian, dan penjelasan hukum masing-masingnya disertai dengan contoh
Tambahan dalam sebuah hadits maksudnya adalah salah seorang perawi memberi tambahan ke dalam sebuah hadits yang bukan termasuk bagian darinya.
Tambahan dalam sebuah hadits terbagi menjadi dua bagian:
1. Karena adanya idraj (penyelipan), yakni diberikan tambahan oleh salah seorang perawi dari sisinya, bukan karena kata-kata itu termasuk bagian hadits. Telah dijelaskan sebelumnya kapankah dihukumi idraj.
2. Disebutkan oleh sebagian perawi karena memang itu termasuk bagian dari hadits tersebut.
Jika tambahan tersebut dari orang yang tidak tsiqah, maka tambahan itu tidak diterima, karena tidak diterima jika diriwayatkan secara sendiri saja sehingga tambahannya terhadap riwayat orang lain itu berhak ditolak.
Namun jika tambahan itu dari orang yang tsiqah, jika tambahan itu bertentangan dengan riwayat lainnya yang lebih banyak daripadanya atau lebih tsiqah daripadanya, maka tambahan ini ditolak. Saat seperti ini tambahan tersebut menjadi Syaadz.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa dari Nafi,
 أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ، رَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ. وَإِذَا رَفَعَ [رَأْسَهُ] مِنَ الرُّكُوعِ، رَفَعَهُمَا دُونَ ذلِكَ
Bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika memulai shalat mengangkat kedua tangannya setentang dengan kedua bahunya dan ketika Beliau mengangkat kepalanya dari ruku’, Beliau mengangkat kedua tangannya namun di bawah dari itu.
Abu Dawud berkata, “Setahuku tidak ada seorang pun yang menyebutkan “Beliau mengangkat kedua tangannya namun di bawah dari itu” selain Malik.”
Dan telah sahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; bahwa Beliau mengangkat kedua tangannya setentang dengan kedua bahunya ketika memulai shalat, ketika ruku’ dan ketika bangun dari ruku’ tanpa membeda-bedakan (lebih tinggi atau lebih rendah).
Namun jika tidak menafikan riwayat yang lain, maka diterima, karena di sana terdapat tambahan ilmu, inilah yang disebut Zidayatuts tsiqah maqbulah (tambahan orang yang tsiqah diterima).
Contohya adalah hadits Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
“Tidak seorang pun di antara kalian yang berwudhu, lalu menyempurnakannya, setelah itu ia berkata, “Asyhadu…dst. (artinya:Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya) kecuali akan dibukakan untuknya pintu surga yang delapan, ia bisa masuk melalui pintu mana saja yang ia suka.”
Imam Muslim meriwayatkan dari dua jalan, di salah satunya ada tambahan “Wahdahuulaa syariikalah” setelah kata-kata “illallah”.
2. Ikhtisharul Hadits (Meringkas Hadits)
Ta’rif (Definisi) dan hukumnya
Meringkas hadits maksudnya adalah seorang rawi atau penukil membuang sesuatu daripadanya (dari suatu hadits).
Hukumnya tidak diperbolehkan kecuali setelah terpenuhi lima syarat:
Pertama, tidak merusak makna hadits, seperti istitsna (pengecualian), ghaayah (akhir/sampai), keadaan, syarat,dsb. contohnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
          “Janganlah kalian berjual beli emas dengan emas kecuali sama ukurannya.”
          “Janganlah kalian menjual buah sampaijelas baiknya.”
          “Janganlah seorang hakim memutuskan perkaran dua orang dalam keadaan marah.”
          “Ya, jika ia melihat air (mani)” sebagai jawaban terhadap pertanyaan Ummu Sulaim ketika bertanya, “Apakah wanita wajib mandi ketika ia bermimpi?”
          “Janganlah salah seorang di antara kamu berkata, ”Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki.”
          “Hajji yang mabrur tidak ada balasannya selain surga.”
Tidak boleh membuang kata-kata,“kecuali sama ukurannya”, “sampai jelas baiknya”, “dalam keadaan marah”, “jika ia melihat air (mani)”, “jika Engkau menghendaki” dan kata “mabrur”, karena membuang kata-kata tersebut dapat merusak makna.
Kedua, tidak membuang kata-kata yang menjadi perhatian dalam suatu hadits.
Misalnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Sesungguhnya kami akan mengarungi lautan dengan membawa sedikit air. Jika kami berwudhu’ dengan air itu niscaya kami akan kehausan, bolehkah kami berwudhu’ dengan menggunakan air laut?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Air tersebut adalah suci airnya dan halal bangkainya.”
Tidak boleh membuang kata-kata “Air tersebut adalah suci airnya”, karena hadits tersebut muncul karenanya dan itulah yang dikehendaki dari hadits.
Ketiga, tidak datang untuk menjelaskan sifat ibadah qauliyyah (perkataan) maupun fi’liyyah (perbuatan).
Contohnya adalah hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu duduk dalam shalat, maka ucapkanlah,
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ،أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Artinya: Segala pengagungan untuk Allah juga segala ibadah badan dan ucapan. Salam atasmu wahaiNabi, serta rahmat Allah dan berkah-Nya semoga dilimpahkan kepadanya. Salam untuk kami dan untuk hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.
Sehingga tidak diperbolehkan membuang satu pun dari hadits ini, karena akan merusak sifat yang disyariatkan tersebut, kecuali jika ia mengisyaratkan bahwa di sana ada yang dibuang kata-katanya.
Keempat, harus ‘alim (mengerti) kandungan lafaz, dan apa saja yang dapat merusak makna jika dibuang dan yang tidak merusak agar ia tidak membuang sesuatu yang ternyata merusak makna sedangkan ia tidak menyadari.
Kelima, perawi tersebut bukan sasaran tuhmah (tuduhan), yakni jika hadits tersebut diringkas ia akan disangka sayyi’ul hifzhi (buruk hapalannya) atau disangka menambahkan jika ia menyempurnakan. Hal itu, karena meringkasnya dalam kondisi seperti ini membuatnya menjadi tidak diterima, sehingga hadits tersebut menjadi dhaif karenanya.
Jika syarat-syarat di atas sempurna, maka boleh meringkas hadits, terlebih mengambil sepotong-sepotong untuk berhujjah dengannya pada tempatnya, hal ini telah dilakukan oleh kebanyakan para Muhadditsin (Ahli Hadits)dan para Fuqaha’ (Ahli Fiqih).
Lebih baik lagi jika hendak meringkas hadits ia memberikan isyarat bahwa hadits tersebut diringkas dengan mengatakan “Hingga akhir hadits,atau “dst.” dsb.
3. Riwayatul Hadits bil Ma’na (Meriwayatkan hadits dengan makna)
Ta’rif (pengertian) dan hukumnya
Meriwayatkan hadits dengan makna maksudnya adalah menukilkan hadits dengan lafaz yang berbeda dengan lafaz yang diambil dari marwi (orang yang diambil riwayatnya).
Hal di atas tidak diperbolehkan kecuali setelah terpenuhi tiga syarat:
  1. Dilakukan oleh orang yang mengerti maknanya dari sisi bahasa maupun dari sisi maksud yang dikehendaki marwi (orang yang diambil riwayat darinya).
  2. Darurat sekali, misalnya perawi lupa lafaz haditsnya namun ingat maknanya. Jika ia ingat lafaznya, maka tidak boleh merubahnya, kecuali jika diperlukan untuk memahamkan pendengar menggunakan bahasa mereka.
  3. Lafaznya bukan dipakai untuk ibadah, seperti lafaz dzikr dsb.
Jika seseorang meriwayatkan dengan makna hendaknya ia menyebutkan kata-kata yang menunjukkan dirinya meriwayatkan secara makna di akhir hadits, seperti kalimat “ أو كما قال  ” (atau seperti yang disabdakan Beliau) dan “atau seperti itu” sebagaimana dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu tentang kisah seorang Arab baduwi yang kencing di dalam masjid, ia berkata,“Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan berkata kepadanya,
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ، وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ» أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak pantas terkena kencing maupun kotoran. Masjid itu adalah untuk mengingat Allah Azza wa Jalla, untuk shalat dan untuk membaca Al Qur’an.” Atau seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh lainnya adalah seperti dalam hadits Mu’awiyah bin Al Hakam –dimana ia berbicara ketika shalat, namun ia tidak tahu hukumnya-, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, Beliau bersabda kepadanya,
«إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ» أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya shalat ini tidak pantas ada kata-kata manusia, shalat itu isinya tasbih, takbir dan bacaan Al Qur’an.” Atau seperti yang disabdakan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), Al Haditsul Hasan (Ibrahim bin Saif Az Za’abiy), Ilmu Musthalahil Hadits (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Ilmu Musthalah Hadits (Abdul Qadir Hasan), At Ta’liqat Al Atsariyyah ala Manzhumah Al Baiquniyyah (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Silsilatul Ahadits Adh Dha’ifah (M. Nashiruddin Al Albani), dll.