بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Faraa’idh (10)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan fiqh fara’idh yang telah dibahas sebagiannya sebelumnya. Semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
XIX. Dzawul Arham
Dzawul arham adalah kerabat yang bukan termasuk as-habul furudh dan bukan ‘ashabah seperti khal (paman dari pihak ibu) dan khalah (bibi dari pihak ibu), ‘ammah (bibi dari pihak bapak), puteri paman, putera saudari, puteri saudari, anak-anak dari puteri, dan setiap kerabat yang bukan ahli waris karena ia bukan termasuk as-habul furudh dan bukan ‘ashabah.
a)Hukum kewarisan mereka
Para ulama berbeda pendapat tentang kewarisan dzawul arham. Sebagian sahabat, tabi’in, dan imam berpendapat bahwa mereka tidak mendapat warisan karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala sendiri yang mengatur pembagian warisan dalam kitab-Nya, dan DIa membatasi hanya sampai As-habul furudh dan ‘ashabah. Di antara ulama yang berpendapat bahwa mereka tidak mendapatkan warisan adalah Imam Malik dan Imam Syafi’I rahimahumallah.
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa mereka mendapatkan warisan adalah Abu Hanifah dan Ahmad rahimahullah. Mereka berdalih dengan hadits, “Al Khaalu waaritsu man laa waaritsa lah.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, namun dalam sanadnya terdapat kelemahan).
Di antara kedua pendapat di atas yang rajih, adalah pendapat yang mengatakan bahwa mereka mendapatkan warisan. Oleh karena itu, banyak fuqaha’ dari kalangan madzhab Maliki dan Syaf’i yang berpendapat bahwa mereka mendapatkan warisan. Hal itu, karena dzawil arham adalah kerabat, sedangkan kerabat wajib disambung hubungannya, dan lagi karena mereka mempunyai hubungan dengan orang yang meninggal, baik hubungan kerabat maupun hubungan Islam. Berbeda dengan Baitul mal, karena yang meninggal tidak berhubungan dengan Baitulmal selain Islam. Terlebih mereka mensyaratkan, bahwa Baitulmal tersebut harus teratur, pengurusnya orang yang adil, pengawasnya orang yang amanah, dan dialihkan harta itu untuk maslahat umum kaum muslimin, sedangkan syarat-syarat ini jarang terwujud.
b) Cara pemberian warisan kepada Dzawul arham
Mereka diberi warisan dengan diposisikan sesuai orang yang menghubungkannya dari kalangan As-habul furudh dan ‘ashabah, maka diberikan salah seorang di antara mereka sesuai yang diberikan kepada orang yang menghubungkannya (as-habul furudh atau ‘ashabah) oleh muwarritsnya dan menempati posisinya. Oleh karena itu, jika seorang wafat meninggalkan puteri dari puteri, putera dari saudari, maka warisan dibagi dua setengah-setengah. Untuk puteri dari puteri mendapatkan setengah, karena itu merupakan warisan ibunya, sedangkan bagi putera dari saudari mendapatkan ½ pula sebagai warisan ibunya, karena jika seorang wafat meninggalkan puteri dan saudari, tentu harta dibagi dua bagian, masing-masingnya setengah, dimana bagian puteri adalah setengah, sedangkan bagian saudari adalah setengah.
Jika saudari tersebut adalah sekandung dan ia bersama puteri dari saudara seayah, maka puteri dari saudara tersebut tidak mendapatkan apa-apa, karena yang menghubungkannya adalah saudara seayah yang termahjub oleh saudari sekandung, sehinga warisan hanya dibagi antara puteri dari puteri dan putera dari saudari yaitu setengah-setengah, seperti ini:
Ahli Waris
|
AM = 2
|
Puteri dari puteri
|
1
|
Puteri saudari sekandung
|
1
|
Puteri saudara seayah
|
0
|
Contoh lain:
Seorang wafat meninggalkan puteri saudari sekandung, puteri saudari seayah, putera saudari seibu, puteri paman sekandung, maka untuk puteri dari saudari sekandung adalah setengah sebagai warisan bagi ibunya yang si anak ini menduduki posisinya, untuk puteri saudari seayah mendapatkan seperenam untuk menyempurnakan 2/3, ia merupakan warisan ibunya yang menduduki posisinya, sedangkan untuk putera saudari seibu mendapatkan 1/6 sebagai bagian ibunya, adapun sisanya, maka untuk puteri paman sekandung mendapatkan bagian pewarisnya yang menjadi ‘ashabah yaitu paman, seperti inilah contohnya:
Ahli Waris
|
Fardh
|
AM = 6
|
Puteri saudari sekandung
|
½
|
3
|
Puteri saudari seayah
|
1/6
|
1
|
Putera saudari seibu
|
1/6
|
1
|
Puteri paman sekandung
|
Sisa
|
1
|
Contoh lain:
Seorang wafat meninggalkan puteri dari puteri, putera dari saudari sekandung, putera dari saudari seibu, dan puteri dari saudara seayah, sehingga untuk puteri dari puteri adalah ½ sebagai bagian warisan ibunya yang menduduki posisinya, untuk putera dari saudari sekandung adalah setengah sebagai bagian ibunya yang menduduki posisinya, sedangkan untuk putera dari saudari seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ibunya yang menduduki posisinya tidaklah menjadi ahli waris karena termahjub oleh puteri sekandung, sebagaimana puteri dari saudara seayah juga tidak memperoleh apa-apa, karena yang menghubungkannya yaitu saudara seayah termahjub oleh saudari sekandung. Seperti inilah gambarannya:
Ahli Waris
|
AM = 2
|
Puteri dari puteri
|
1
|
Puteri saudari sekandung
|
1
|
Puteri saudari seibu
|
0
|
Puteri dari saudara seayah
|
0
|
Contoh lain:
Seorang wafat meninggalkan bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak bapak, maka untuk bibi dari pihak ibu mendapatkan 1/3, karena itulah warisan ibu yang menhubungkannya kepada yang meninggalkan warisan. Untuk bibi dari pihak bapak adalah 2/3 sisanya, karena itulah warisan orang yang menghubungkannya yaitu bapak, sedangkan bapak adalah ‘ashabah ia mewarisi sisa as-habul furudh, seperti ini:
Ahli Waris
|
AM = 3
|
Khalah (Bibi dari pihak ibu)
|
1
|
‘Ammah (Bibi dari pihak bapak)
|
2
|
Catatan:
1. Dzawul arham tidaklah mendapat warisan jika masih ada as-habul furudh atau ‘ashabah, karena sisanya dari as-habul furudh dikembalikan kepada as-habul furudh sampai tidak tersisa sesuatu pun, kecuali jika as-habul furudhnya salah satu dari suami-istri, maka ketika itu diberikan kepada dzawul arham.
Misalnya, seorang wafat meninggalkan saudara seibu atau seayah dan ‘ammah (bibi dari pihak bapak), maka ia (saudara) mengambil semua bagiannya, dan ‘ammah tidak mendapatkan apa-apa, karena ia termasuk dzawul arham, dan tidak ada dari warisan yang diberikan kepadanya. Demikian pula jika seorang wafat meninggalkan ibu dan khalah, maka harta untuk ibu sebagai as-habul furudh dan mendapatkan radd, sedangkan khalah tidak mendapatkan apa-apa. Adapun jika seorang wafat meninggalkan istri dan puteri dari saudara laki-laki, maka istri mendapatkan ¼ sebagai fardhnya, sedangkan sisanya untuk puteri dari saudara, karena ia menduduki posisi bapaknya yang menjadi ‘ashabah yang mengambil sisa fardhnya.
2. Dzawul arham ketika berkumpul bersama, maka dilihat keadaan mereka, dan bahwa seakan-akan mereka adalah ahli waris yang asli dari kalangan as-habul furudh dan ‘ashabah, sehingga yang lebih tinggi memahjub yang berada di bawahnya, dan yang sekandung memahjub yang seayah.
Ketika terjadi kesamaan derajatnya dan kedekatannya, maka mereka sama dalam warisan, dimana salah satunya tidak lebih dari yang lain dan untuk laki-laki dua kali bagian perempuan. Contohnya adalah seorang wafat meninggalkan puteri dari puteri, puteri dari puteri dari puteri atau putera dari puteri dari puteri, maka harta untuk puteri dari puteri saja, adapun puteri dari puteri dari puteri tidaklah memperoleh apa-apa, demikian pula putera dari puteri dari puteri, karena puteri dari puteri lebih tinggi derajatnya dan yang tinggi memahjub yang rendah.
Contoh lainnya adalah seorang wafat meninggalkan puteri dari saudara sekandung dan puteri dari saudara seayah, maka harta untuk puteri dari saudara sekandung, sedangkan untuk puteri dari saudara seayah tidaklah memperoleh apa-apa karena saudara sekandung memahjub saudara seayah. Oleh karena itu, diperhatikan siapa yang mewarisi dan yang termahjub, maka yang menghubungkan dengan ahli waris menjadi mewarisi sedangkan yang menghubungkan dengan selain ahli waris, maka tidaklah mewarisi. Misalnya seorang wafat meninggalkan puteri dari puteri dari anak laki-laki dan putera dari putera dari puteri, maka harta untuk puteri dari puteri dari anak laki-laki, sedangkan putera dari putera dari puteri tidaklah memperoleh apa-apa, karena ia meskipun sama derajatnya, sampai kepada yang wafat itu dua derajat, hanyasaja puteri dari puteri dari anak laki-laki telah menghubungkan dengan ahli waris sehingga mewarisi, adapun putera dari putera dari puteri, maka ia menghubungkan dengan selain ahli waris sehingga tidak mewarisi, karena putera dari putera itu ahli waris, sedangkan putera dari puteri bukanlah ahli waris.
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Minhaajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy), Al Fiqhul Muyassar(Tim Ahli Fiqh, KSA), Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Saabiq), Al Faraa’idh (A. Hassan), Belajar Mudah Ilmu Waris (Anshari Taslim, Lc), dll.