Fiqh Faraa’idh (11)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫علم المواريث‬‎
Fiqh Faraa’idh (11)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan fiqh fara’idh yang telah dibahas sebagiannya sebelumnya. Semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
XIX. Warisan orang murtad
Orang yang murtad tidak mewarisi dari orang lain dan tidak diwarisi oleh orang lain, harta warisnya diserahkan kepada Baitul maal. Inilah pendapat Imam Syafi’i, Imam Malik, dan yang masyhur dari Imam Ahmad. Namun ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa harta yang diperolehnya sebelum murtad, maka diwarisi oleh kerabatnya yang muslim, dan harta yang diperolehnya setelah murtad untuk baitul maal.
XX. Warisan anak zina dan anak li’an
Anak zina adalah anak hasil dari bukan pernikahan yang syar’i, sedangkan anak li’an adalah anak yang dinafikan oleh seorang suami yang syar’i adanya nasab dengannya.
Anak zina dan anak li’an tidak bisa terjadi saling mewarisi antara anak itu dengan ayahnya berdasarkan kesepakatan kaum muslimin karena adanya penafian nasab yang syar’i. Anak tersebut hanyalah mewarisi antara dirinya dengan ibunya.
Dari Ibnu Umar, bahwa ada seorang yang meli’an istrinya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menafikan anaknya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan kedua suami-istri, dan menghubungkan anak itu kepada si wanita. (HR. Bukhari dan Abu Dawud, namun lafaznya (yang artinya): Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan warisan anak li’an kepada ibunya dan kepada ahli warisnya setelahnya).
XXI. Wanita yang ditalak
Wanita yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan sakit atau menjelang wafatnya, maka menurut Umar dan Utsman bahwa wanita itu tetap mendapatkan warisan. Hal ini, karena biasanya suami yang mencerai ini bermaksud agar tidak memberikan harta warisan kepada isterinya.
XXII. Laqith (anak pungut)
Anak yang dipungut dari jalan dan sebagainya, sedangkan ibu bapaknya atau keluarganya tidak diketahui, maka harta warisannya diberikan kepada Baitul Maal. Ini adalah pendapat Umar bin Khaththab. Namun ada juga yang berpendapat bahwa hartanya itu diberikan kepada orang yang memungutnya. Wallahu a’lam.
XXIII. Takharuj
Takhaaruj adalah berdamainya para ahli waris dengan mengeluarkan sebagian mereka dari bagiannya dalam warisan sebagai ganti dari sesuatu yang ditentukan dari tarikah atau lainnya.
Takhaaruj bisa terjadi antara dua orang ahli waris, di mana salah seorangnya menduduki posisi yang lain untuk memperoleh bagiannya sebagai ganti dari sejumlah uang yang diberikan kepadanya.
Takharuj bisa karena ada proses shulh (damai), di mana seorang ahli waris rela tidak mengambil bagiannya dan menyerahkannya kepada ahli waris yang lain dengan imbalan uang kompensasi atau tidak ada kompensasi sama sekali.
Takhaaruj hukumnya boleh jika memang sama-sama ridha. Abdurrahman bin ‘Auf pernah mentalak istrinya Tumaadhir binti Al Ashbagh Al Kalbiyyah ketika ia sakit yang membawa kepada kematiannya, lalu si suami meninggal sedangkan isteri dalam keadaan menjalani masa ‘iddah, maka Utsman menjadikan si wanita mewarisinya dengan tiga isterinya yang lain, lalu mereka mengadakan shulh (damai) 4/8 dengan memberikan 83.000 dinar atau dirham.
Beberapa contoh takhaaruj:
1. Ahli waris merelakan bagiannya diambil oleh seorang ahli waris lain.
Misalnya ahli waris terdiri dari seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, serta seorang ibu. Anak laki-laki merelakan bagiannya diambil oleh saudara perempuannya. Maka saudara perempuannya mendapat bagian saudara laki-laki.
Pembagiannya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris
Fardh
AM = 6 x 3 (kepala)
18
18
Ibu
1/6
1
3
3
Anak pr
Sisa
5
5
15
Anak lk
10
0
2. Ahli waris merelakan bagiannya diambil bersama ahli waris lain seluruhnya
Dalam hal ini, ahli waris yang menggugurkan haknya dianggap tidak ada, dan harta dibagikan kepada ahli waris yang lain. Misalnya pada contoh di atas anak laki-laki menggugurkan haknya kepada ibu dan saudarinya, maka pembagian warisan hanya dilakukan kepada kedua ahli waris itu saja, tanpa memasukkan anak laki-laki.
3. Ahli waris yang menggugurkan haknya dari salah satu jenis harta warisan kepada seluruh ahli waris lain dengan syarat ia mengambil kompensasi dari harta warisan jenis lain.
Misalnya ahli waris terdiri dari paman kandung, istri, dan seorang saudari kandung. Harta yang ditinggalkan berupa uang tunai 100.000 rupiah, dan sebuah rumah tinggal. Lalu istri menggugurkan bagiannya dari uang tunai dengan syarat ia mengambil rumah tinggal sendiri, maka istri tidak dihitung ketika pembagian uang tunai.
Saudari kandung mendapatkan 1/2, yaitu 50.0000 rupuah, dan paman mendapatkan sisanya, yaitu 50.000 rupiah.
Hal ini bila harta yang ditinggalkan berbentuk uang tunai. Jika harta yang ditinggalkan tadi berbentuk bagian yang harus dijadikan saham (baik bangunan, tanah dan lain sebagainya), maka harus dibuatkan tabelnya.
Caranya: dibuat tebel sebagaimana biasa, lalu bagian isteri dibuang dan dikurangkan dengan asal masalah.
Ahli Waris
AM = 8
6
Istri
1/4
2
Keluar
Saudari kandung
1/2
4
4
Paman
Sisa
2
2
Artinya, saham saudari adalah 4/6 dari harta yang ditinggalkan, dan saham paman adalah 2/6.
XXIV. Hadirnya kerabat yang bukan ahli waris ketika pembagian warisan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Dan apabila sewaktu pembagian (warisan) itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik[i].
Pemberian sekedarnya itu tidak boleh melebihi sepertiga harta warisan, dan pemberian ini dilakukan sebelum dibagikan. Pemberian ini hukumnya sunat, sedangkan menurut Ibnu Abbas pemberian ini hukumnya wajib. Maksud ayat ini adalah apabila orang-orang fakir dari kalangan kerabat yang tidak mendapatkan warisan menghadiri pembagian harta warisan yang banyak, demikian juga dihadiri anak-anak yatim dan orang miskin, maka diri mereka akan menjadi berharap ketika melihat seseorang mengambil bagian ini dan yang lain mengambil bagian itu, sedangkan mereka berputus asa karena tidak mendapatkan bagian, maka Allah Ta’ala Yang Maha Pengasih lagi Penyayang memerintahkan agar memberikan sekedarnya kepada mereka sebagai sikap berbuat baik, sebagai sedekah, ihsan dan menghilangkan rasa sedih mereka.
Selesai dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa

Maraaji’: Minhaajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy), Al Fiqhul Muyassar(Tim Ahli Fiqh, KSA), Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid  Saabiq), Al Faraa’idh (A. Hassan), Belajar Mudah Ilmu Waris (Anshari Taslim, Lc), dll.



[i] Yakni jika ternyata tidak mungkin karena hal-hal tertentu, maka berbicaralah dengan mereka dengan kata-kata yang lembut.