Qunut Subuh, ditinjau dari sisi Fiqih dan Hadits
Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan tentang qunut Subuh ditinjau dari sisi fiqih dan hadits, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pendapat Para Fuqaha (Ahli Fiqih) Terkait Qunut Subuh
Para ulama berbeda pendapat terkait qunut Subuh yang dilakukan secara terus-menerus hingga timbul tiga pendapat:
Pendapat pertama, tidak disunnahkan melakukan qunut Subuh kecuali karena nazilah (musibah yang menimpa kaum muslimin). Pendapat ini dipegang oleh Ats Tsauri, Abu Hanifah, dan Ahmad. Dan ini pula yang dinukil dari jamaah para sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Abu Darda radhiyallahu anhum.
Ibnu Qudamah berkata, “Tidak disunahkan qunut pada shalat Subuh dan shalat lima waktu lainnya selain shalat witir. Inilah yang dipegang oleh Ats Tsauri, Abu Hanifah, dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Abu Darda.” (Al Mughni 2/114)
Dalil pendapat pertama ini adalah hadits Abu Malik Sa’ad bin Thariq Al Asyja’I ia berkata,
قُلْتُ لِأَبِي: يَا أَبَةِ، «إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، هَاهُنَا بِالكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ، أَكَانُوا يَقْنُتُونَ؟» ، قَالَ: أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ؟
“Aku pernah berkata kepada ayahku, “Wahai ayah, sesungguhnya engkau shalat di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan di belakang Ali bin Abi Thalib di Kufah ini selama kurang lebih lima tahun, apakah mereka melakukan qunut?” Ia menjawab, “Wahai anakku. Itu adalah diada-adakan.”(Hr. Tirmidzi no. 402, Nasa’i no. 164, Ibnu Majah no. 1241, Baihaqi no. 3156, Ahmad no. 15879, Thabrani dalam Al Kabir no. 8178, dan Ibnu Abi Syaibah no. 6963, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 435)
Demikian pula berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata,
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ، إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ، يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ، عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan secara berturut-turut di shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan shalat Subuh di bagian akhir setiap shalat, yaitu saat Beliau mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’ (artinya: Allah mendengar orang yang memuji-Nya) pada rakaat terakhir, beliau mendoakan keburukan kepada beberapa suku dari Bani Salim, juga kepada suku Ri’il, Dzakwan, dan Ushayyah, sedangkan makmum yang di belakang mengaminkannya.” (Hr. Abu Dawud no. 1445, Baihaqi no. 3098, Ibnu Khuzaimah no. 618, Ahmad no. 2746, Hakim no. 820, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud no. 1443)
Hadits di atas menunjukkan bahwa qunut yang Beliau lakukan karena nazilah, dan itu dilakukan dalam semua shalat lima waktu, dan ditinggalkan qunut ketika tidak ada nazilah. Akan tetapi qunut yang sering dilakukan Beliau adalah pada shalat Subuh. Demikianlah pendapat mayoritas fuqaha dari kalangan Ahli Hadits.
Pendapat kedua, disunahkan terus-menerus melakukan qunut pada shalat Subuh, inilah pendapat Malik dan Syafi’i.
Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senantiasa qunut dalam shalat Subuh sampai meninggal dunia. (Hr. Baihaqi no. 3105, Daruquthni no. 1694, Ahmad no. 12657, Ibnu Abi Syaibah no. 312, Abdurrazzaq no. 4964, namun didhaifkan oleh Al Albani dalam Adh Dha’ifahno. 1238, dan nanti akan dijelaskan kedhaifannya lebih lanjut insya Allah).
Pendapat ketiga, bahwa qunut sudah mansukh, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada awalnya melakukan kemudian meninggalkan, karena ‘meninggalkan’ menunjukkan dimansuknya (dihapusnya) perbuatan itu sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada awalnya berdiri terhadap jenazah, setelah itu Beliau duduk, sehingga sikap ‘duduk’ Beliau menasakh (menghapus) sikap ‘berdiri’. Ini adalah pendapat segolongan ulama dari kalangan penduduk Irak.
Hadits Qunut Subuh
Imam Tirmidzi membuat bab dalam Sunannya ‘Bab Tentang Qunut Pada Shalat Subuh’, lalu ia bawakan hadits berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، وَمُحَمَّدُ بْنُ المُثَنَّى، قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالمَغْرِبِ»
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah dan Muhammad bin Al Mutsanna, keduanya berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Amr bin Murrah, dari Ibnu Abi Laila, dari Barra bin Azib, “Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut dalam shalat Subuh dan Maghrib.”
Tirmidzi berkata, “Dalam masalah ini ada riwayat dari Ali, Anas, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Khufaf bin Ima bin Rahdhah Al Ghifari. Hadits Barra adalah hadits hasan shahih.”
Ia melanjutkan, “Para ulama berbeda pendapat tentang qunut pada shalat Subuh, sebagian Ahli Ilmu dari kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan lainnya berpendapat adanya qunut di shalat Subuh. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Syafi’i. Namun menurut Ahmad dan Ishaq, bahwa tidak dilakukan qunut dalam shalat Subuh kecuali ada bencana yang menimpa kaum muslimin. Ketika ada bencana (nazilah), maka bagi imam berhak mendoakan kemenangan untuk pasukan kaum muslimin.” (Sunan Tirmidzi no. 401, dan dishahihkan oleh Al Albani, dan demikian keadaannya setelah kami periksa (shahih). Hadits tersebut juga disebutkan oleh Muslim no. 305, Abu Dawud no. 1441, dan Nasa’i no. 1076).
Selanjutnya Imam Tirmidzi (no. 402) membuat ‘bab tentang meninggalkan qunut’ dan membawakan hadits dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Malik Al Asyja’i ia berkata,
قُلْتُ لِأَبِي: يَا أَبَةِ، «إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، هَاهُنَا بِالكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ، أَكَانُوا يَقْنُتُونَ؟» ، قَالَ: أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ؟
“Aku pernah berkata kepada ayahku, “Wahai ayah, sesungguhnya engkau shalat di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan di belakang Ali bin Abi Thalib di Kufah ini selama kurang lebih lima tahun, apakah mereka melakukan qunut?” Ia menjawab, “Wahai anakku. Itu adalah diada-adakan.” (Dalam riwayat Nasa’i dengan lafaz ‘bid’ah’)
Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih. Dan inilah yang diamalkan oleh kebanyakan Ahli Ilmu. Sufyan Ats Tsauri berkata, “Jika seseorang melakukan qunut di waktu Subuh, maka itu baik. Dan jika tidak qunut juga baik.” Namun ia memilih untuk tidak qunut. Ibnul Mubarak memandang tidak disyariatkan qunut di waktu Subuh, sedangkan Abu Malik Al Asyja’i, namanya adalah Sa’ad bin Thariq bin Asy-yam.”
(Hadits ini dishahihkan pula oleh Al Albani, dan demikianlah keadaannya (shahih)).
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Salamah bin Abdirrahman, bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata,
وَاللهِ لَأُقَرِّبَنَّ بِكُمْ صَلَاةَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ «يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ، وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ، وَصَلَاةِ الصُّبْحِ، وَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ، وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ»
“Demi Allah, aku akan memperlihatkan shalat yang mirip dengan shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ketika itu Abu Hurairah qunut di waktu Zhuhur, Isya yang terakhir, dan shalat Subuh. Ia mendoakan kebaikan bagi orang-orang mukmin dan melaknat orang-orang kafir.”
Al Hazimi dalam kitab Al I’tibar berkata, “Ahli Ilmu sepakat untuk meninggalkan qunut tanpa sebab pada empat shalat lima waktu, yaitu Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya.” Ia juga berkata, “Namun para ulama berbeda pendapat tentang qunut pada shalat Subuh, tetapi banyak dari kalangan sahabat, tabiin, dan setelahnya dari para ulama berbagai negeri yang menetapkan adanya qunut (pada shalat Subuh).” Lalu ia menyebutkan sahabat dan tabiin yang melakukan demikian. Selanjutnya ia berkata, “Namun banyak pula para ulama yang menyelisihinya dan menyatakan tidak disyariatkan qunut Subuh. Sebagian mereka memandang, bahwa pada awalnya disyariatkan lalu dimansukh (dimansuk).”
Menurut Al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya, bahwa Beliau qunut di shalat Subuh dan Magrib ini di awal-awal Islam.
(Tuhfatul Ahwadzi 2/360)
Imam Syaukani dalam Nailul Awthar berkata, “Berhujjah dengan hadits itu (qunut Nabi shallallahu alaihi wa sallam di shalat Maghrib dan Subuh) mereka yang menetapkan qunut di shalat Subuh. Namun dijawab, bahwa tidak ada pertentangan tentang terjadinya qunut di waktu Subuh. Demikian pula dijawab, bahwa tidak ada pertentangan tentang dilakukannya qunut oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahkan yang dipertentangkan adalah terus-menerusnya disyariatkan qunut. Jika mereka mengatakan, “Lafaz ‘kaana’ menunjukkan disyariatkan terus-menerus. Maka kita katakan, ‘Imam Nawawi menukil dari jumhur (mayoritas) para muhaqqiq (peneliti) bahwa lafaz ‘kaana’ tidak menunjukkan demikian. Anggaplah kita terima, bahwa hal itu menunjukkan ‘terus-menerus’, namun hal itu tidak menafikan keadaan Beliau yang kemudian meninggalkan qunut sebagaimana ditegaskan oleh dalil-dalil yang lain. Baiklah bahwa hadits tersebut menunjukkan Beliau melakukan qunut di waktu Subuh dan Maghrib, lalu bagaimana pendapat kalian tentang shalat Maghrib (yakni apakah Beliau juga terus-menerus qunut di shalat Maghrib) yang juga merupakan jawaban kami terhadap shalat Subuh. Di samping itu, dalam hadits Abu Hurairah yang telah disepakati keshahihannya, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut pada rakaat terakhir shalat Zhuhur, shalat Isya yang terakhir, dan shalat Subuh, lalu apa jawaban kalian terhadap kandungan lafaz ‘kaana’ di sini. Itulah jawaban kami. Jika mereka mengatakan, “Namun Daruquthni, Abdurrazzaq, Abu Nu’aim, Ahmad, Baihaqi, Hakim dan ia menshahihkannya meriwayatkan dari Anas,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى قَاتِلِي أَصْحَابِهِ بِبِئْرِ مَعُونَةَ ثُمَّ تَرَكَ فَأَمَّا الصُّبْحُ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan mendoakan keburukan kepada para pembunuh sahabatnya di sumur Ma’unah, lalu Beliau meninggalkannya. Adapun Subuh, maka Beliau senantiasa melakukan qunut sampai Beliau meninggalkan dunia.”
Memang bagian awal hadits ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Akan tetapi kalau hadits di atas shahih tentu menjadi penyelesaian terhadap perselisihan ini. Akan tetapi hadits tersebut melalui jalan Abu Ja’far Ar Razi, yang tentangnya Abdullah bin Ahmad berkata, “Tidak kuat.” Ali bin Al Madini berkata, “Hafalannya bercampur.” Abu Zur’ah berkata, “Ia banyak keliru.” Amr bin Al Fallas berkata, “Jujur, namun buruk hafalan.” Ibnu Ma’in berkata, “Tsiqah, namun keliru.” Ad Dauri berkata, “Tsiqah, namun jatuh dalam kekeliruan.” As Saji berkata, “Jujur namun tidak hati-hati.” Memang dia ditsiqahkan oleh lebih dari seorang, dan hadits ini memiliki syahid (penguat dari jalan lain), akan tetapi dalam isnadnya terdapat Amr bin Ubaid yang tidak bisa menjadi hujjah.
Al Hafizh berkata, “Bertambah keruh lagi dengan riwayat Al Khathib dari jalan Qais bin Ar Rabi dari Ashim bin Sulaiman, bahwa kami pernah berkata kepada Anas, “Sesungguhnya orang-orang mengatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam senantiasa qunut di waktu Subuh?” Anas berkata, “Mereka dusta. Beliau melakukan qunut hanya sebulan mendoakan keburukan kepada salah satu suku bangsa Arab,” namun Qais ini dha’if, tetapi tidak tertuduh dusta.
Ibnu Khuzaiman meriwayatkan dalam Shahihnya dari jalan Sa’id, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali jika meendoakan kebaikan atau keburukan atas suatu kaum. Sehingga hadits-hadits dari Anas berbeda-beda dan terjadi mudhtharib (keghuncangan), oleh karenanya tidak bisa dijadikan hujjah ketika seperti ini.”
Jika hal ini telas jelas bagimu, maka yang benar adalah pendapat mereka yang mengatakan bahwa qunut hanyalah khusus ketika terjadi bencana/nazilah (yang menimpa kaum muslimin seperti ditindas, dsb.), dan bahwa ketika qunut nazilah tidak dikhususnya hanya pada satu shalat, dan telah ada dalil yang menunjukkan demikian seperti pada hadits Anas dalam riwayat Ibnu Khuzaimah. Dan telah disebutkan hadits Abu Hurairah dalam riwayat Ibnu Hibban dengan lafaz,
كَانَ لَا يَقْنُتُ إِلَّا أَنْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ
“Beliau tidak melakukan qunut kecuali jika mendoakan kebaikan atau keburukan untuk orang lain.”
Hadits ini asalnya ada dalam Shahih Bukhari.”
Demikianlah pernyataan Imam Syaukani. (Tuhfatul Ahwadzi 2/360)
Takhrij hadits Qunut Subuh
Imam Ahmad dalam Al Musnad no. 12657 berkata,
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ يَعْنِي الرَّازِيَّ، عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: ” مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far yakni Ar Razi, dari Rabi bin Anas, dari Anas bin Malik ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senantiasa qunut di shalat Subuh sampai meninggal dunia.”
Pentahqiq Musnad Ahmad berkata, “Isnadnya dha’if, Abu Ja’far Ar Razi –namanya adalah Isa bin Mahan- adalah seorang yang buruk hafalan, dan ia menyelisihi riwayat orang-orang yang tsiqah terhadap hadits ini dari Anas. Riwayat yang shahih dari Anas adalah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan mendoakan keburukan kepada beberapa suku bangsa Arab, yaitu Ushayyah, Dzakwan, Ri’l, dan Lihyan.” (Lihat no. 12064 di Musnad). Hadits tersebut juga disebutkan dalam Mushannaf Abdurrazzaq no. 4964. Dari jalurnya pula Daruqutni (2/39) dan Adh Dhiya dalam Al Mukhtarah no. 2127 meriwayatkan.
Hadits seperti di atas juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/312, Al Bazzar (556-Kasyful Astar), Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 1/244, Daruquthni 2/39, Baihaqi 2/201, Baghawi (639), Al Hazimiy dalam Al I’tibar hal 86, dan Adh Dhiya no. 2128 dari beberapa jalan dari Abu Ja’far Ar Raziy dengan sanad ini.
Thahawi 1/243 dan Baihaqi 2/202 juga meriwayatkan dari jalan Amr bin Ubaid, dari Al Hasan, dari Anas ia berkata, “Aku shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan Beliau senantiasa qunut dalam shalat Subuh sampai Beliau meninggal dunia, aku juga shalat bersama Umar bin Khaththab, dan ia senantiasa qunut dalam shalat Subuh sampai ia meninggal dunia.” Baihaqi menggandengkan Ismail bin Muslim Al Makkiy dengan Amr bin Ubaid, namun ia berkata, “Kami tidak berhujjah dengan keduanya.” Kita katakan, “Keduanya sepakat ditinggalkan.”
(Tahqiq Musnad Ahmad oleh Syu’aib Al Arnauth, Adil Mursyid, dll. Cet. Ar Risalah20/95)
Tentang Amr bin Ubaid Al Mu’taziliy, maka ia seorang yang ditinggalkan haditsnya dan pernah berdusta atas nama Al Hasan. Disebutkan tentang biografinya dalam Tahdzibut Tahdzib (8/62):
Ibnu Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya.”
Amr bin Ali berkata, “Ditinggalkan haditsnya, ia seorang pelaku bid’ah.”
Abu Hatim berkata, “Ditinggalkan haditsnya.”
Nasa’i berkata, “Tidak tsiqah, dan tidak dicatat haditsnya.”
Abu Dawud Ath Thayalisi berkata, “Dari Syu’bah, dari Yunus bin Ubaid, bahwa Amr bin Ubaid berdusta terhadap Al Hasan.”
Adapun tentang Ismail bin Muslim Al Makkiy, Imam Ahmad berkata, “Munkarul Hadits.” Ibnu Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya.” Ali bin Al Madini berkata, “Tidak dicatat haditsnya.” Abu Hatim berkata, “Dha’if haditsnya dan bercampur hafalannya.” Imam Abu Hatim pernah ditanya, “Ismail bin Muslim lebih engkau sukai atau Amr bin Ubaid?” Ia menjawab, “Keduanya dha’if.” Nasa’i berkata, “Ditinggalkan haditsnya.” Ibnu Hibban berkata, “Seorang yang dha’if, ia meriwayatkan hadits-hadits munkar dari orang-orang terkenal dan membolak-balikkan sanad.” (Lihat Tahdzibut Tahdzib 1/332)
Jalur lainnya adalah dari jalur Dinar bin Abdullah pembantu Anas, dari Anas, yang lafaznya:
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senantiasa melakukan qunut pada shalat Subuh hingga wafat.”
Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Silsilah Adh Dha’ifah berkata, “Diriwayatkan oleh Al Khathib dalam kitab qunutnya. Ibnul Jauziy mengkritiknya dengan pedas karena hal ini. Hal itu, karena Dinar ini menurut Ibnu Hibban, “Meriwayatkan dari Anas atsar-atsar yang maudhu (palsu) yang tidak halal disebutkan dalam berbagai kitab kecuali sambil mencacatkannya.” (3/386)
Di antara para ulama yang menyatakan bahwa hadits qunut Subuh terus-menerus adalah dha’if adalah Ibnul Jauzi dalam Al Ilalul Mutanahiyah (1/444), Ibnu Turkumani dalam ta’liqnya terhadap Al Baihaqi, Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (22/374), Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (1/99), Al Hafizh Ibnu Hajar dalam At Talkhishul Habir (1/245), dan Al Albani dalam Adh Dha’ifah (1/1238).
Pendapat Yang Rajih (Kuat)
Menurut penulis, pendapat yang rajih (kuat) insya Allah adalah pendapat yang mengatakan tidak disyariatkan qunut terus menerus pada saat shalat Subuh karena haditsnya dha’if dan riwayat yang ada menunjukkan, bahwa Beliau melakukan qunut adalah karena nazilah (musibah yang menimpa kaum muslimin), dan prakteknya tidak hanya pada shalat Subuh, tetapi pada semua shalat lima waktu. Inilah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Syaukani, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Jibrin, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Shalih Al Fauzan dan lainnya.
Jika Imam Qunut, apakah kita juga qunut?
Berikut kami sampaikan pertanyaan yang diajukan ke situs Islamweb.net terkait masalah di atas:
Pertanyaan saya berkenaan dengan qunut Subuh adalah bahwa saya berpegang dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa qunut Subuh terus menerus adalah bid’ah. Akan tetap pertanyaan saya adalah, “Saya tidak mengangkat tangan ketika qunut (karena banyak dalil yang bukan di sini untuk disampaikan). Akan tetapi apa yang perlu saya lakukan, yakni apakah saya tetap diam atau mengulang-ulang doa bangun dari ruku (Rabbana walakal hamdu hamdan katsiran thayyiba…dst.)? Dan bolehkah bagi saya memisahkan diri dari imam kemudian menyempurnakan shalat sendiri? Jika boleh; apakah yang lebih utama tidak memisahkan karena akibatnya ada pembicaraan dan menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat? Semoga Allah memberikan berkah pada ilmu Anda?”
Jawab: Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, dan para sahabatnya, amma ba’du:
Qunut pada shalat Subuh termasuk masalah khilafiyyah dan banyak sekali alasan baik dari para ulama yang menetapkannya maupun yang meniadakannya. Meskipun demikian, para ulama sepakat sahnya shalat dalam dua keadaan tersebut; baik yang qunut maupun yang tidak qunut. Perselisihan mereka hanyalah dalam hal yang lebih utama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Pembagian kedua, masalah yang disepakati para ulama, yakni apabila dilakukan kedua macam itu, maka ibadahnya sah dan tidak berdosa. Akan tertapi mereka berbeda pendapat terkait mana yang lebih utama, terkait yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, demikian pula masalah qunut Subuh dan qunut witir, menjaharkan basmalah, cara isti’adzah, dan lain sebagainya yang termasuk ke dalam bagian ini. Mereka sepakat, bahwa mereka yang menjaharkan basmalah dan yang tidak menjaharkan tetap sah shalatnya, yang qunut dan yang tidak qunut tetap sah shalatnya, demikian pula qunut dalam witir.” (Majmu Fatawa22/267)
Jika engkau telah memahami apa yang kami sebutkan, maka ketahuilah bahwa sepatutnya bagimu untuk mengikuti imammu ketika qunut karena hal ini termasuk masalah ijtihadiyyah, dan imam itu dijadikan untuk diikuti. Berikut pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang kami sebutkan sebagai faedah, ia berkata setelah menguatkan tidak disyariatkan qunut terus menerus pada shalat Subuh,
“Mereka yang mengatakan bahwa qunut Subuh termasuk sunnnah Ab’adh yang jika ditinggalkan harus sujud sahwi, maka karena melihat hal itu sunnah yang dilakukan terus menerus seperti halnya tasyahhud awal dan semisalnya. Namun telah jelas, bahwa yang tepat tidak demikian. Ia bukan sunnah yang terus-menerus dan tidak dilakukan sujud sahwi karena ditinggalkannya. Akan tetap orang yang meyakini demikian karena memahami begitu, maka ia berhak memahami demikian sebagaimana masalah-masalah ijtihad lainnya. Oleh karena itu, bagi makmum hendaknya mengikuti imamnya dalam hal yang boleh berijtihad di sana. Ketika imam qunut, maka ia qunut bersamanya, dan ketika ia tidak qunut, maka ia juga tidak qunut, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Imam itu dijadikan untuk diikuti.” Beliau juga bersabda, “Jangan menyelisihinya.” Dan telah disebutkan dalam hadits Shahih bahwa Beliau bersabda, “Para imam shalat untuk kalian. Iika mereka benar, maka kalian dan mereka mendapatkan pahala, tetapi jika jika imam salah, maka kalian mendapatkan pahala dan mereka mendapatkan dosa.” Bukankah engkau memandang bahwa jika imam membaca di dua rakaat terakhir surat Al Fatihah dan memperlamanya tentu engkau harus mengikutinya. Adapun mendahului imam, maka tidak boleh. Jika imam qunut, maka tidak boleh bagi makmum mendahuluinya, bahkan harus mengikutinya. Oleh karena itu, Abdullah bin Mas’ud pernah mengingkari Utsman karena melakukan shalat empat rakaat (tidak diqashar) saar di Mina, namun ia kemudian shalat empat rakaat, lalu ia ditanya mengapa demikian, maka ia jawab, “Perselisihan itu buruk.” Demikian pula Anas bin Malik saat ditanya seseorang tentang kapan waktu melempar jamrah, lalu diberitakan dan ia berkata, “Kerjakan seperti yang dikerjakan imammu. Wallahu a’lam. (Majmu Fatawa 23/116)
Dari Imam Ahmad ada riwayat, bahwa makmum cukup diam dan tidak mengikuti imam saat qunut Subuh.
Dalam Al Mubdi’ disebutkan, “Abul Husain menyebutkan riwayat tentang orang yang shalat di belakang orang yang qunut Subuh, bahwa ia cukup diam dan tidak mengikutinya.”
Yang rajih (kuat) adalah apa yang kami sebutkan kepadamu bahwa yang disyariatkan adalah mengikuti imam yang qunut Subuh, tidak diam dan tidak pula mengulang-ulang doa i’tidal.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Barang siapa yang shalat di belakang imam yang qunnut pada shalat Subuh, maka hendaknya ia mengikuti imam melakukan qunut Subuh dan mengaminkan doanya, dan telah ada nash dari Imam Ahmad terhadap hal itu.”
Adapun memisahkan diri dari imam karena ia melakukan qunut Subuh, maka tidak diperbolehkan sama sekali karena di dalamnya terdapat mafsadat, di samping karena hal itu sama saja memisahkan tanpa uzur karena hal itu termasuk masalah Ijtihadhiyyah seperti yang telah engkau ketahui, sedangkan memisahkan diri dari imam dapat membatalkan shalat menurut kebanyak ulama, lihat fatwa no. 136577.
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/136939/%D9%85%D8%AA%D8%A7%D8%A8%D8%B9%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%A3%D9%85%D9%88%D9%85-%D9%84%D9%84%D8%A5%D9%85%D8%A7%D9%85-%D8%A5%D8%B0%D8%A7-%D9%82%D9%86%D8%AA-%D9%81%D9%8A-%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%B5%D8%A8%D8%AD
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, ‘Aunul Ma’bud (Muhammad Asyraf bin Amir Al Azhim Abadi), Tuhfatul Ahwadzi (Abul Ala Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri), https://islamqa.info/ar/answers/101015/%D8%A7%D8%AD%D8%A7%D8%AF%D9%8A%D8%AB-%D8%A7%D9%86%D8%B3-%D9%81%D9%8A-%D9%82%D9%86%D9%88%D8%AA-%D8%A7%D9%84%D9%81%D8%AC%D8%B1 , https://www.alukah.net/sharia/0/131322/ (Tulisan Abdu Rabbish Shalihin Abu Dhaif Al ‘Atmuni), dll.